Persoalan mengenai hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya kian hari kian marak diperbincangkan di berbagai belahan dunia. Di Indonesia sendiri wacana mengenai lingkungan hidup telah diangkat oleh berbagai kalangan yang bekerja secara kolektif maupun perorangan, demi memperjuangkan keberlanjutan alam tempat kita hidup bersama. Dalam dunia seni khususnya skema seni Indonesia, terdapat tokoh-tokoh yang tergerak oleh kegelisahan mereka masing-masing terkait masalah-masalah ekologi. Mereka bekerja dengan gaya ungkap yang khas melalui berbagai bentuk karya untuk mengampanyekan pesan-pesan pelestarian alam dan perubahan gaya hidup yang lebih baik.
Art Effect edisi 10 mengajak para pembaca untuk turut melihat, membaca, dan mengapresiasi pemikiran-pemikiran hingga karya seni yang dihasilkan atas kesadaran tentang relasi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Menyambut peluncuran Art Effect edisi 10, kami menyiapkan artikel khusus mengenai karya seni yang cukup menarik untuk kita simak bersama. Karya ini berjudul Alphabet Moles, dipamerkan dalam gelaran Art Bali 2019 lalu. Alphabet Moles adalah karya instalasi yang bersifat interaktif, karya I Wayan Sujana ‘Suklu’. Ketika karya ini dipamerkan di Gedung ABBC Nusa Dua, tercipta dialog yang menarik antara karya tersebut, publik yang mengapresiasinya dan atmosfer lingkungan tempat karya ini dipajang. Meski pergelaran Art Bali telah ditutup pada 13 Januari lalu, memori mengenai nilai filosofi dari karya ini mengakar kuat dalam benak para penikmatnya. Rangkaian memori ini kami persembahkan bagi pembaca sekalian dalam artikel berikut. Selamat membaca.

Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa membicarakan soal Ekologi dan Kultur Agraris, erat kaitannya dengan “mengenang”. Hal ini pun dilakukan oleh seorang seniman berdarah Bali, I Wayan Sujana Suklu, melalui karya instalasi berjudul Alphabet Moles. Instalasi yang menjadi karya utama dalam pameran tahunan Art Bali 2019 ini memanfaatkan bambu sebagai mediumnya. Sang seniman, menggagas konsep molekul dan mengolah rangkaian-rangkaian bambu untuk mengejawantahkan konsep tersebut. Bambu-bambu ini disusun sedemikian rupa untuk merepresentasikan bentuk-bentuk lain dari keberadaan molekul pembentuk semesta dan makhluk hidup. Seperti deskripsi yang diberikan oleh Suklu pada karyanya,

Molekul membentuk semesta dan makhluk hidup. Molekul beralih rupa menjadi alphabet di setiap tubuh-tubuh makhluk. Menjadi padat, cair, ringan menembus ruang dan waktu fisik serta mental spiritual Alphabet Moles, sebentuk rupa dikendalikan gagasan tentang sinyal-sinyal memori yang ingin bicara tentang kesatuan manusia.
Karya ini pun memosisikan diri menjadi interaktif, dapat dimanfaatkan oleh anak-anak sebagai wahana bermain. Mereka dapat memanjatnya dan berjalan-jalan melintasi satu sisi ke sisi lain. Selain itu, Alphabet Moles pun menjadi arsip yang membawa konsep mengenai memori atau ingatan makhluk hidup (khususnya manusia) atas komponen penyusun terkecil masing-masing yang telah ada sejak miliaran tahun lamanya.
Namun, Suklu tidak ingin dipandang sebagai seniman Eco Art. Ia menolak penggunaan istilah tersebut, karena kebiasaan memanfaatkan apa yang dikandung oleh alam atau lingkungan sekitar telah ada sejak lama. Menurutnya, kultur agraris telah membudaya dan mengakar kuat dalam kearifan lokal masyarakat setempat, jauh sebelum istilah, ilmu, maupun definisi dari Eco Art itu tertulis dan digaungkan oleh keilmuan barat.
“Kalau saya berangkatnya justru tidak berdasarkan keilmuan barat. Mereka dengan sangat pintar mem-brainding, Eco Art, Barok Art, yang macam-macam. Saya justru berangkat dari tradisi di Bali menggunakan bambu itu. Pemakaiannya pun sangat luas, meliputi batang, daun, ranting, untuk upacara, adat istiadat, acara-acara keagamaan, semua terpakai kalau di Bali. Bambu pun memiliki banyak nama dan jenis. Setiap jenis juga memiliki fungsi yang berbeda-beda. Dari situlah saya justru tertarik mengangkat bambu. Ketika belakangan dianggap karya saya ini Eco Art, itu terserah mereka. Padahal kesadaran saya justru dipengaruhi dari kearifan tradisi yang begitu dekat dan akrab, karena saya tinggal di desa.”
Momentum yang membuat Suklu memutuskan untuk mulai melirik bambu, adalah kesadarannya terhadap kombinasi antara kebutuhan estetik dan psikologis dalam proses seni.
“Dari tahun 97 saya menyadari bahwa dalam proses seni, ada kombinasi antara kebutuhan estetik dan psikologis. Sementara kebutuhan psikologis ini ternyata terus berkembang. Pertama-tama dulu saya ingin jadi pelukis. Ketika sudah menjalani profesi sebagai pelukis, saya merasa ada kebutuhan-kebutuhan tertentu yang tidak terpenuhi. Mulailah saya mencoba ke tiga dimensi, seperti patung. Kemudian karena patung mentok pada titik itu, saya mencoba meng-create bambu. Bambu ini momentumnya justru ketika saya menyadari dan melihat saat petani membuat rumah dari bambu.”
Pemakaian konstruksi knock down pada pembuatan rumah bambu (gubug) pun diterapkan pada konstruksi Alphabet Moles.
“Di situ tiba-tiba ada Quantum Life, kesadaran yang memberikan saya ide dan gagasan tertentu. Berdasarkan itu akhirnya saya mainkan, kombinasi antara keseharian, mencoba menelisiknya, kemudian menemukan hal-hal yang konstruktif, tapi bisa dikembangkan, tidak hanya mentok di satu titik. Saya pun orang yang suka usil melihat, mengamati, kemudian mencoba meng-create sesuatu, mengeksplor, membuat, bereksperimen terkait dengan pembuatan instalasi itu.”
Sejarah mencatat, sejumlah karya sang seniman (I Wayan Sujana ‘Suklu’) selain Alphabet Moles tidak hanya mengangkat berbagai problem lingkungan, tapi juga mengampanyekan kultur agraris, kearifan lokal, serta berupaya mendekatkan (mengembalikan) karya-karyanya kepada masyarakat. Sebut saja karya-karya dalam pameran tunggal ‘Panji, Antara Tubuh Dan Bayangan’; ‘Intermingle Art Project, Light Perterrent’ pada 2017; ISI Denpasar bertajuk ‘Intermingle Art Project, Art Fashion’ tahun 2017; serta pameran ‘Sayap dan Waktu’ di Komaneka Fine Art Gallery pada 2016. Kemudian Pameran bersama skala nasional dan internasional: ‘Kontraksi: Pascatradisionalisme” di Galeri Nasional Indonesia April 2019; ‘Balinesse Masters: Aesthetic DNA Trajectories of Balinese Visual Art’ Mei 2019 di ABBC Building; ‘Drawing and Communication’ di Okinawa Prefectural University of Arts, Jepang 2019; dan ‘The Garden’ di The Amerika Club, Singapura.
Melalui pengalamannya sebagai seniman yang telah malang-melintang dengan beragam-macam karya, Suklu memanfaatkan kayu, batu, fiber, bambu, hingga kaca sebagai medium, bahan atau materi. Jejak-jejak ini masih dapat diketahui manakala mengunjungi kediamannya di Klungkung, Gianyar, Bali. Ia pun menyenangi proses-proses penjamahan bahan-bahan atau medium-medium baru (lintas batas), hingga dapat berinteraksi dengan baik, serta mampu terhubung dan saling memahami antar seniman-karya-bahan.
“Saya suka sekali memanfaatkan barang-barang bekas. Merasa tertantang untuk meng-create mereka menjadi sesuatu. Kayak kaca-kaca bekas yang saya beli untuk nanti jadi lukisan kaca. Satu, kita me-reduce kaca. Kalau tidak di-reduce, dia akan menjadi sampah. Satu sisi, karena memang kita punya tugas untuk meng-create mereka menjadi sesuatu yang berguna, bahkan bernilai art. Mungkin itu sudah kodratnya seniman. Setiap teman-teman seniman pasti punya keunikan dalam melihat lingkungan dan mensiasatinya. Kebetulan saya memang ada dan sangat getol di titik itu.”
Speculative memories yang menjadi tema besar dalam Art Bali 2019 pun dapat pula dikaitkan erat dengan pespektif kuantum dan spekulasi-spekulasi yang ditawarkan oleh Suklu mengenai relasi molekul, alphabet, dan makhluk hidup, yang dengan cara lain, juga bisa dianggap sebagai perspektif lain untuk berbicara mengenai kultur agraris, alam, lingkungan hidup, atau kearifan lokal. Ia berangkat dari ruang-ruang kuantum dan molekul yang sangat kecil, serta menyimpan beragam macam memori (baik-buruk). Sebagaimana Seni Lingkungan Hidup (Enviromental Art), bahwa “suatu pemandangan tidak ada dalam keberadaannya sendiri, karena penampilan pemandangan itu akan berubah setiap saat, dipengaruhi atmosfer sekeliling yang membuat lanskap tersebut hidup dan memberikan nilai pada subjek-subjek itu (oleh Claude Monet, tokoh Impresionisme)”. Definisi ini sangat sesuai dengan implementasi dan pemanfaatan Alphabet Moles sebagai commissioner work kepada para pengunjung. Ia menjadi semacam wahana yang bisa dinaiki, duduki, dan lintasi dari sisi ke sisi.
Kaitan antara lahirnya Alphabet Moles dengan deskripsinya mengenai molekul, berhubungan dengan riset dan latar belakang sang seniman. “Saya sedang riset tentang Quantum Life ketika disodori Speculative Memori. S-3 saya pun temanya mobile artlab, lab yang berpindah-pindah, dan menekankan pada membangun peristiwa, mengajak masyarakat aktif masuk ke lab itu. Saya pun sedang secara khusus dan intens, berbicara tentang kebutuhan masyarakat, ketika ada aktivitas seni, kita sampai mengajak dan melibatkan mereka dalam aktivitas seni kita.”
Menurutnya, terjadi semacam reaksi kimia antara masyarakat yang beraktivitas dengan karyanya. Mental orang-orang sehat yang ter-pressure oleh tugas, sudah hilang ketika melakukan aktivitas seni. Molekul, kuantum, energi, gelombang, memori-memori itu akan bisa muncul lagi ketika dia memang dipancing untuk keluar.
“Kita sadar dengan materi yang paling kecil itu molekul, itu yang dihidupkan. Dengan saya menyebut Alphabet Moles aja orang sudah penasaran. Orang-orang akan membaca tentang molekul, ada persenyawaan, ion, macam-macam. Mereka akan belajar dan menggali pengetahuan itu. Itu tujuan saya. Jadi dengan saya memunculkan itu, tematik itu, orang akan menengok dan mempelajari hal itu. Ketika saya itu angkat, orang akan membaca ulang dan mengingat lagi memori-memori itu. Mereka akan terangsang untuk ingin tahu, mencari tahu, akhirnya mengetahui dan memahami.”
Sang seniman membuat konstruksi Alphabet Moles dengan melibatkan lingkaran-lingkaran yang secara umum menjadi ikon dari molekul. Dirinya mengakui, pemakaian ikon dan bahasa tersebut dijadikan pancingan untuk mengungkapkan persoalan molekul menjadi satu bentuk karya, Alphabet Moles. Kendati demikian, baginya, terserah masyarakat akan memahami ataupun menginterpretasinya seperti apa, karena masing-masing pasti punya pengetahuan dan kemampuan menangkap sendiri-sendiri, tidak bisa dipaksakan dengan persepsi yang sama sesuai dengan persepsi pembuat karya. Maknanya pun dikembalikan ke publik.
Teks : Miftachul Arifin / Film dan Televisi 2015