YOGYAKARTA, PRESSISI – Festival Film Dokumenter atau yang biasa disebut FFD Jogja merupakan festival film dokumenter berksala internasional yang terbuka untuk film dokumenter pendek serta film dokumenter panjang. Dalam tahun ke-20 ini, FFD dilaksanakan di tiga tempat utama yakni, Bioskop Sonobudoyo, IFI-LIP Yogykarta, dan Gedung Ex Bioskop Permata. FFD menghadirkan banyak program seperti pemutaran film, diskusi, serta penghargaan.
Dalam salah satu programnya yang bertajuk Doctalk, FFD bekerjasama dengan beberapa pihak salah satunya adalah KamISInema, kine klub yang ada di ISI Yogyakarta. Dalam program ini FFD mengundang pembuat film serta narasumber lain untuk diksusi mengenai perkembangan dokumenter. Dalam kolaborasi bersama KamISInema, FFD memutarkan film berjudul Now is The Past – My Father, Java & the Phantom Films yang disutradarai oleh Sin-Ichi Ise asal Jepang.
Sesi diskusi yang dilangsungkan pada tanggal 17 November 2022 ini dihadiri Sin-ichi Ise selaku sutradara film yang ditayangkan, hadir pula Siti Daulah selaku pengajar yang membahas film tersebut dalam perspektif sejarah, serta Kaoru Kochi sebagai penerjemah. Film yang ditayangkan merupakan sebuah film dokumenter panjang yang bercerita mengenai perjalanan Sin-Ichi Ise dalam mencari 130 film propaganda yang dibuat ayahnya pada masa kedudukan Jepang di Indonesia.
Didampingi dengan penerjemah, diskusi berjalan dengan sangat menarik dan informatif. Tak hanya itu, terdapat juga dua orang juru bahasa isyarat yang senantiasa membantu menerjemahkan seluruh percakapan kedalam bahasa isyarat bagi Teman Tuli yang hadir. Panitia FFD meminta penyediaan juru bahasa isyarat pada program Doctalk mengingat adanya antusias dari Teman Tuli untuk menghadiri acara.
Menurut pemaparan Sari, salah satu juru bahasa isyarat. Teman Tuli memerlukan bahasa isyarat setiap mereka ingin mengakses informasi. Dalam hal ini, informasi yang dimaksud adalah dialog serta keterangan dan diskusi yang ada di dalam film. Para juru bahasa isyarat akan menerjemahkan setiap kata dengan lengkap. Mengingat tidak semua juru bahasa isyarat berasal dari perfilman, terdapat beberapa istilah yang asing sehingga mereka harus menjelaskannya dengan cara mengeja.
“Ada beberapa hal (istilah perfilman) yang mungkin saya tidak familiar, tapi karena sebelum sesi akan diberi materi, itu biasanya nanti kita pelajari terlebih dahulu (materinya),” Ujar Sari.
Sari juga menyampaikan harapannya kepada seluruh pembuat film di Indonesia agar lebih memerhatikan Teman Tuli dengan memberikan takarir serta pemberian keterangan jika terdapat tambahan efek suara pada film yang ditampilkan.
“Sarannya sih di perfilman Indonesia ya, harus ada subtitle atau caption berbahasa Indonesia. Karena itu sangat jarang film Indonesia yang menampilkan subtitle berhasa Indonesia.” Jelas Sari.
Teks Oleh: Moch. Fadliawan / Pressisi 10