Ketika industri kreatif Indonesia semakin maju, relevankah bila kita menganggap pekerja seni sebagai profesi yang dianak tirikan?
Pada minggu ke-3 di bulan April 2018, Penerbit Ombak menginisiasi Dialog Dua Anak Haram. Acara ini cukup diseriusi publik, terlihat dari banyaknya pengunjung yang datang pada malam pembukaannya. Dialog Dua Anak Haram adalah pameran seni rupa. Pameran ini melibatkan 8 orang perupa, antara lain; Ugo Untoro, AC. Andre Tanama, Alfin Rizal, Enka Komariah, Media Legal, Adit Here-here, Susiyo Guntur dan Adi Ardiansyah. Di saat yang sama, dalam satu kemasan acara, Penerbit Ombak juga mengadakan peluncuran buku Semesta Manusia, karya Nirwan Ahmad Arsuka.
Para perupa yang dilibatkan dalam pameran ini memiliki latar belakang yang bersinggungan dengan dunia kepenulisan. Sebagai contoh, Ugo Untoro, penyuka kuda yang pernah mengorbitkan Cerita Pendek Sekali, antologi karya tulisnya yang jenaka dengan berbagai persoalan sehari-hari. Ada juga Andre Tanama, dosen dan pegiat seni grafis yang esainya cukup sering menyapa publik sebagai pengantar kuratorial di berbagai pameran seni rupa.

Mengenai tema pameran ini, Tomi Firdaus, mewakili tim kurator menjelaskan bahwa Dialog Dua Anak Haram terinspirasi dari judul salah satu tulisan dalam Semesta Manusia. Tajuk tersebut diadaptasi sebagai konsep atas persepsi bahwa seniman dan penulis adalah profesi yang kurang menjanjikan. “Bila dikasarkan, mau jadi apa sih seniman dan penulis tuh?” terangnya. Memperkuat argumentasi tersebut, pada 2012 lalu thedailybeast.com pernah meluncurkan artikel yang memuat The 13 Most Useless Majors, From Philosophy to Journalism. Di dalamnya seniman menempati posisi pertama, disusul oleh penulis dan jurnalis yang berebut kedudukan pada posisi ke-7 dan ke-8. Meski begitu, bila kita melihat ke belakang, ada banyak perubahan yang mematahkan statement bahwa pekerja industri kreatif dipandang sebelah mata, khususnya di Indonesia.
Industri kreatif di Indonesia kian meroket, ditandai dengan meningkatnya kuantitas pergelaran kesenian baik yang berskala nasional maupun internasional. Sebagai contoh, dalam jagad seni rupa Yogyakarta ada dua event seni yang paling ditunggu setiap tahunnya, yaitu Artjog dan Biennale Jogja. Di setiap penyelenggaraannya, tidak hanya seniman yang intens bergulat mencari ide-ide kreatif, tetapi juga para penulis seni. Apalagi, bersamaan dengan penyelenggaraan Artjog, ada begitu banyak event seni lain yang digelar di Yogyakarta hingga memunculkan istilah “lebaran seni”. Bayangkan saja, betapa banyak tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengurus semua event tersebut.
Meneropong ke luar Jogja, pesta seni rupa dua tahunan/ biennale juga semakin viral. Dalam Biennialisasi Indonesia, artikel yang ditulis Wahyudin untuk sarasvati.co.id, kita disodorkan informasi menarik seputar fenomena penyelenggaraannya. Salah satunya adalah Indonesia berpotensi didaulat sebagai negara dengan biennale terbanyak di dunia. Tercatat setidaknya ada 10 biennale yang ada di Indonesia sejak 1974, diantaranya; Bali Biennale, Banten Biennale, Center Point Open Biennale, Jakarta Biennale, Biennale Jawa Tengah, Biennale Jawa Timur, Biennale Jogja, Klaten Biennale, Makassar Biennale, dan Sumatera Biennale.
Di balik tren biennale ini, peran pemerintah untuk mendorong pengembangan industri kreatif tidak main-main. Para pekerja seni seakan menjadi anak kesayangan ketika Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dibentuk. Pemerintah optimis bahwa industri kreatif akan menjadi tulang punggung perekonomian bangsa. Atas keyakinan tersebut, sejak tahun 2015 Bekraf dijadikan wadah bagi pekerja kreatif untuk mengeksplorasi karya seni, arsitektur, buku, pengembangan teknologi, animasi, dan berbagai karya cipta lainnya. Visi Bekraf sebagai Lembaga non-kementerian adalah menjadikan Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia, dari sektor ekonomi kreatif.

Adapun, sumbangsih Bekraf bagi pelaku industri kreatif terdiri dari beberapa program unggulan, meliputi; riset, edukasi dan pengembangan untuk memperkuat fondasi ekonomi kreatif, penyaluran Dana Ekonomi Kreatif (Dekraf) dalam wujud pinjaman, hibah, investasi, pembangunan infrastruktur, pemasaran, pembimbingan terkait Hak Kekayaan Intelektual (HKI), dan membangun kerjasama antar kementerian, lembaga, wilayah, asosiasi, dan komunitas. Semua program ini berada di bawah tanggung jawab 6 deputi.
Terlepas dari itu, belum lama ini ada kabar yang cukup membanggakan dari dunia literasi Indonesia. Dilansir dari detikhot.com, kabarnya paviliun Indonesia tengah membanjiri negeri tetangga dengan 1000 buku pada perhelatan Kuala Lumpur International Book Fair (KLIBF) 27 April – 6 Mei 2018. KLIBF merupakan pesta buku tahunan terbesar di Malaysia. Pada tahun 2018 ini, KLIBF telah berusia 37 tahun. Dalam rangkaian acaranya, diketahui pihak penyelenggara menghadirkan jagoan puisi dari Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Salah satu agendanya adalah temu sapa dan penanda tanganan buku.
Selain Sapardi, pengarang Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi juga turut meramaikan KLIBF. Penulis best seller tersebut juga memberi workshop terkait penulisan kreatif dengan tema perjalanan. Sapardi Djoko Damono dan Ahmad Fuadi hanya contoh kecil yang merefleksikan keberadaan penulis Indonesia yang prestasinya diakui negara lain. Secara menyeluruh, masih banyak insan kreatif negeri ini yang berpotensi tampil di forum internasional, baik melalui karya seni, juga literasinya. Dengan dukungan penuh dari pemerintah terhadap industri kreatif , agaknya kurang tepat bila kita menganggap seniman dan penulis sebagai profesi yang dianak tirikan.
Teks: David Ch. Ganap/ Tata Kelola Seni 2014
Foto: M. Hutomo Syahputra/ Seni Murni 2017