Kurang lebih, sudah hampir 3 bulan berlalu sejak film Dilan 1990 populer di masyarakat Indonesia. Baru-baru ini kabarnya film yang diadaptasi dari novel karya Pidi Baiq itu juga ditayangkan di Okinawa International Movie Festival 2018 yang digelar 19 hingga 22 April 2018, di Jepang. Dikutip dari Kompas.com, Dilan 1990 masuk dalam kategori special invitation bersama dua belas film lain dari Jepang, Thailand, Hongkong, dan China.
Belum lama setelah ditayangkan di Okinawa, film Indonesia yang berhasil menembus 6,3 juta penonton itu kabarnya juga memenangkan penghargaan sebagai Movie of the year oleh Indonesian Choice Awards 2018 yang diselenggarakan oleh stasiun televisi, NET., Minggu (29/4/2018).[1]
Dilan 1990 nampaknya memang menjadi film Indonesia yang paling sering diperbincangkan di tahun ini. Dilan berhasil menjadi gimmick dalam lingkup nasional. Mulai dari presiden Jokowi yang menjadi sorotan publik dengan memamerkan tiga tiket Dilan 1990, hingga saat beliau mendatangi Sukabumi dengan fashion yang menyerupai tokoh Dilan lengkap dengan motor Chopper-nya.
Tentunya presiden Jokowi bukan satu-satunya tokoh nasional yang sempat menjadi sorotan karena terjun dalam gimmick film itu. Wali kota Bandung, Ridwan Kamil justru malah ikut berperan sebagai cameo di film itu. Sampai-sampai KPU melarang Dilan 1990 diputar di televisi demi menyambut masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018.

Di Cimahi sosok cosplayer Dilan dan Milea hadir pada acara jalan sehat Pemilihan Gubernur Jawa Barat (Pilgub Jabar) 2018 yang digelar oleh KPU kota Cimahi, 29 April 2018. Dikutip dari pikiran-rakyat.com, KPU berupaya mengingatkan para pemilih pemula yang harus manfaatkan momen pilkada untuk memilih.[2]
Sementara itu, di Jawa Timur, Komunitas Mantap Jawa Timur (Manja) justu malah meluncurkan video Parodi Dilan untuk keperluan branding dan kampanye kreatif salah satu kandidat pasangan Pemilihan Gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf dan Puti Guntur Soekarno. Video parodi ini telah diupload sejak 23 Maret 2018 dan ditonton 700.774 kali.
Sampai-sampai Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengadakan nonton bareng film Dilan 1990 bersama film Yo Wis Ben! Untuk merayakan hari pendidikan nasional. Banyak komentar negatif dari para warganet seputar pemilihan film Dilan 1990. Film ini dianggap kurang mewakili tema hari pendidikan nasional. Betapa tidak? Bukankah Dilan 1990 adalah film yang ber-genre romantis?
Tidak mengherankan bila sejak dulu, dunia hiburan adalah dunia yang jauh lebih dekat dengan masyarakat ketimbang persoalan-persoalan politik, seperti isu pengesahan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga kerja Asing (TKA), kasus semen Kendeng, kisruh Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA), hingga isu internasional sepeti menyambut Perang dagang Amerika-China dewasa ini, namun apakah memanfaatkan ikon kebudayaan populer untuk menyamarkan kepentingan politik bukannya justru akan memperburuk citra ikon kebudayaan itu sendiri?
Melihat beberapa fenomena di atas, tentu sah-sah saja bila kita akhirnya berprasangka, “Apakah Dilan kini mulai menjadi bagian dari sebuah hegemoni budaya?” Untuk menganalisa hal ini, kita dapat melihat beragam fenomena dalam lingkup sosial-budaya secara ontologis (konkret). Namun sebelum kita menelisik fenomena Dilan sebagai alat hegemoni, marilah kita bahas apa itu hegemoni budaya.
Hegemoni Budaya
Hegemoni budaya adalah dominasi terhadap masyarakat ragam-budaya oleh kelas penguasa yang membentuk (atau memanipulasi) budaya masyarakat tersebut, sehingga pandangan kelompok tertentu menjadi norma budaya umum tanpa paksaan. Norma umum yang terbentuk ini kemudian menjadi ideologi dominan yang sah secara universal dan membenarkan status quo di bidang sosial, politik, dan ekonomi sebagai sesuatu yang alami, tak terelakkan, abadi, dan memiliki kesan bermanfaat bagi semua orang, walaupun terkadang manfaatnya lebih banyak menguntungkan kelompok penguasa yang dominan. (Bullock, 1999:387–88)[3]
Tujuan dari hegemoni ini tentu jelas, yaitu upaya mendominasi tanpa melakukan perlawanan fisik. Menurut Gramsci, ada istilah Fungsionaris Hegemoni yang dapat diartikan sebagai media untuk menanamkan pemahaman sehingga dapat dijadikan legitimasi dominasi. Pendidikan, intelektualitas, dan berbagai macam bentuk kebudayaan tinggi dan popular (termasuk ideologi, kepercayaan, dan common sense) merupakan perangkat hegemonik. (Faruk, 1999: 63)[4] Artinya, Hegemoni bisa saja menjadi sebuah kontrol masa untuk meredam bentuk-bentuk perlawanan suatu masyarakat terhadap berbagai persoalan yang sedang terjadi.
Beberapa Fenomena Ontologis Gimmick Dilan
Dikutip dari jawapos.com, Desainer muda Michelle Maryam menilai kondisi tersebut sudah lumrah terjadi. Sebuah fashion trend memang kadang dipengaruhi film tertentu. Dia mengakui, denim jeans sangat booming sejak tahun lalu. Namun, hype-nya semakin besar ketika film Dilan meledak di pasaran. Masyarakat Indonesia kian meminati denim jacket itu. “Apalagi ditambah sosok Dilan yang memang cool dan dipuja banyak perempuan ya,” tutur owner label clothing Maryallé tersebut, Sabtu (24/2/2018).[5]
Kendaraan dalam film bisa menjelma sebuah ikon. Misalnya, film Dilan 1990. Motor yang digunakan Iqbaal Ramadhan saat memerankan karakter Dilan yang flamboyan dalam film tersebut sukses menarik perhatian penonton.

Seto Hariyadi adalah salah seorang penonton yang berniat untuk menunggangi motor seperti milik Dilan. Dia mengungkapkan, di rumah, ada motor serupa milik Dilan di film Dilan 1990 yang tidak terurus. “Saya jadi kepikiran untuk merestorasi motor CB tua punya bapak, biar keren seperti Dilan,” ujar pria 34 tahun itu lalu tertawa, Sabtu (24/2/2018).
Menurut dia, tampilan motor jadul seperti CB memang tidak lekang oleh waktu. Bentuk fisik dan modelnya sangat digemari. “Ibaratnya, timeless dan masih banyak yang suka,” jelasnya. Sebelum trend Dilan mewabah, dia mengerjakan beberapa model motor seperti CB. Namun, sejak film tersebut tayang, permintaan untuk memodifikasi kendaraan atau merestorasi Honda CB meningkat.[6]
Disamping persoalan-persoalan nasional yang sedang beredar, menjadi semakin jelas, mengingat kini Indonesia sedang memasuki tahun politik dan bersiap-siap menyambut Pemilihan umum (Pemilu) 2019. Dikutip dari detik.com, Badan Pusat Statistik memperkirakan jumlah pemilih milenial pada Pilkada 2018 sekitar 35 juta. Jumlah ini tentu akan bertambah pada Pemilu 2019. Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) mengelompokkan generasi milenial adalah orang dalam rentang umur 17-34 tahun. Saat ini setidaknya 34,4 persen masyarakat Indonesia ada di rentang umur emas tersebut.
Direktur Center for Presidential Studies, Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Nyarwi Ahmad mendefinisikan generasi milenial sebagai orang yang lahir setelah 1980-an. Ada juga yang lahir pasca-1995, yang biasanya dikategorikan kalangan post-millennial. Jumlah total pemilih milenial dan post-millennial ini cukup besar dan bisa menjadi penentu dalam kemenangan Pemilihan presiden (Pilpres) 2019.
“Sebab, mereka rata-rata pemilih yang memiliki keterikatan lemah dengan partai politik (parpol), mudah kagum ataupun benci pada tokoh tertentu, dan sangat aktif di media sosial, khususnya yang ada di wilayah perkotaan,” kata Nyarwi saat berbincang dengan detik.com, Senin (16/4/2018).[7]
Konklusi

Film diartikan sebagai hasil budaya dan alat ekspresi kesenian. Film sebagai komunikasi massa merupakan gabungan dari berbagai teknologi, seperti fotografi dan rekaman suara, kesenian baik seni rupa dan seni teater, sastra dan arsitektur, serta seni musik. (Effendi, 1986:239)[8]
Suka atau tidak suka, terlepas dari apa pengaruhnya terhadap kemajuan dunia perfilman Indonesia, masyarakat Indonesia perlu edukasi yang lebih matang dalam menelaah persoalan-persoalan kebudayaan dan keterkaitannya dengan segala aspek kehidupan. Memaknai definisi film di atas, tentu menjadi masuk akal bila film dapat menjadi alat hegemoni yang dibangun pelaku politik untuk mendominasi masyarakat dalam upaya meredam perlawanan, juga menarik dukungan secara kolektif dari masyarakat yang cenderung awam.
Tentunya juga tidak ada yang salah dengan menikmati sebuah karya seni (dalam kasus ini film) atau mengikuti sebuah trend kebudayaan yang cenderung menjadi bagian dari hegemoni. Karena permasalahan klise yang sebenarnya dan seringnya tidak kita sadari adalah lebih kepada soal filter terhadap cepatnya arus sebuah informasi, dalam kasus ini ialah nilai kebudayaan. Dari situlah fungsi pendidikan moral dan sistem penentuan ratting usia terhadap film semestinya lebih kita perhatikan keseriusannya.
Jadi, benarkah Dilan kini menjadi alat hegemoni budaya?
Teks: Insan Sholeh Nugroho/ Desain Komunikasi Visual 2015.
Daftar Pustaka:
[1] “Dilan 1990 Diundang ke Okinawa International Movie Festival 2018”, https://entertainment.kompas.com/read/2018/04/04/110540310/dilan-1990-diundang-ke-okinawa-international-movie-festival-2018.
[2] “Dilan-Milea Sosialisasikan Pilgub Jabar 2018 di Cimahi”,
http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2018/04/29/dilan-milea-sosialisasikan-pilgub-jabar-2018-di-cimahi-423578.
[3] Bullock, Alan (1999), The New Fontana Dictionary of Modern Thought. HarperCollins Publishers, 387–88.
[4] Faruk (1999), Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Jaya, 63.
[5] “Dilanda Demam Dilan, Must Have Item: Denim Jacket”,
https://www.jawapos.com/read/2018/02/24/191192/dilanda-demam-dilan-must-have-item-denim-jacket.
[6] “Dilanda Demam Dilan: Motor Jadul Bikin Gaul”,
https://www.jawapos.com/read/2018/02/24/191195/dilanda-demam-dilan-motor-jadul-bikin-gaul.
[7] “Mengapa Suara Penggemar Dilan Tentukan Kemenangan Pilpres 2019”,
https://news.detik.com/berita/3974451/mengapa-suara-penggemar-dilan-tentukan-kemenangan-pilpres-2019.
[8] Effendy, Onong Uchjana. (1986), Televisi Siaran, Teori dan Praktek. Bandung : Alumni, 239.