Dilema dan Konflik Kepentingan-Kebutuhan Kalangan Atas Hingga ‘Ruang-Ruang Bawah Tanah’

Konflik kepentingan dan kebutuhan dari orang-orang kalangan atas menjadi persoalan dilematis nun berkepanjangan bagi masyarakat awam. Orang-orang tersebut senantiasa memilik wewenang berlebih terhadap keputusan dan aturan atas suatu perkara demi kepentingan dan kebutuhan hidup di lingkungan sejawat masing-masing. Tak ayal, sistem kuasa berlebih ini kemudian berdampak (baik langsung maupun tidak langsung) kepada masyarakat awam, dalam kaitannya dengan pengetahuan yang terkotak-kotakkan juga. Konflik dan dilema ini pula yang coba ingin diutarakan melalui medium film dengan sejumlah bentuk dan cara bertuturnya dalam Slot 2 Pemutaran Film Tugas Akhir.

Dalam slot ini, terdapat 5 film yang ditayangkan dan terbagi menjadi 2 dokumenter pendek, 2 fiksi pendek, serta 1 mokumenter pendek. Film-film tersebut di antaranya yakni Nasalis Larvatus, Rahim Puan, Masih Kecil, Sultan Labok, dan Booking Out. Selain terdiri dari 3 bentuk berbeda, film-film ini pun memiliki genre dan cara bertuturnya masing-masing untuk membawakan isu-isu tertentu.

Film Nasalis Larvatus karya Pratiwi Desnindriani, menyampaikan ironi populasi Bekantan endemik Kalimantan yang berkurang setiap tahun menuju ambang kepunahan, karena alih fungsi lahan. Bekantan merupakan jenis monyet berhidung panjang dengan rambut berwarna coklat kemerahan. Sebagaimana kompilasi artikel, berita, dan info grafisnya, film ini semacam menjadi ‘juru bicara’ bagi para Bekantan kepada masyarakat awam, mengenai bahaya kepunahan yang terus menghantui hidup mereka. Sayangnya, meski dengan isu penting tersebut, Nasalis Larvatus masih terasa kurang kuat dalam hal mengusik benak penonton. Bila dikomparasikan dengan Human VS Elephant (baca: Konflik Ruang Hidup dan Kesalahpahaman dalam Ekosistem Plural Manusia-Alam) –film dokumenter pendek yang juga mengangkat konflik ruang hidup manusia dan hewan, pencapaian pesan-pesannya masih kurang kuat. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh cara bertutur, yang mengakibatkan kurangnya tekanan konflik agar sampai kepada penonton. Walau demikian, bukan berarti film ini tidak punya tawaran lain melalui cara bertutur tersebut. Apabila “kembali” dikomparasikan dengan Human VS Elephant, Nasalis Larvatus lebih informatif, terutama melalui keberadaan info grafis mengenai jumlah populasi Bekantan dalam rentang beberapa tahun.

Rahim Puan, oleh M. Syahiddhan A., Audi Istira Rahmahani, Wildan Ma’arij, Bayu Setya Yusi.
Rahim Puan, oleh M. Syahiddhan A., Audi Istira Rahmahani, Wildan Ma’arij, Bayu Setya Yusi.

Lain dilema, lain pula konflik dalam film Rahim Puan. Film hasil kolektif M. Syahiddhan A., Audi Istira Rahmahani, Wildan Ma’arij, dan Bayu Setya Yusi ini mengangkat kemelut batin perempuan sebagai subordinat yang tak banyak berkesempatan menentukan jalan hidup dan pilihannya sendiri. Sebetulnya, isu-isu yang berkaitan dengan perempuan dan persoalan gender di Indonesia telah jamak diketahui secara luas dan majemuk. Apalagi dengan latar belakang relasi bos dan buruh pabrik serta keberadaan hutang-piutang. Jika saja Rahim Puan tidak berupaya memberi tawaran lain melalui aspek sinematik dan mise-en-scene (terutama kekuatan akting tokohnya), film ini hanya mewacanakan kembali sebuah isu yang telah santer keluar-masuk telinga masyarakat awam. Walau justru alasan itu pula yang menjadi salah satu poin penting Rahim Puan, bahwa isu pasaran bukan berarti tidak memiliki kekuatan untuk terus-menerus hadir di tengah penonton film. Singkatnya, Rahim Puan ingin menyampaikan bahwa perempuan sebagai subordinat masih terjadi, meski zaman terus berubah-ubah.

Masih Kecil, oleh Faishal Amri dan Erwin Prasetnya K.
Masih Kecil, oleh Faishal Amri dan Erwin Prasetnya K.

Apa yang menimpa kehidupan tokoh utama dalam Rahim Puan mengenai ketidakinginannya untuk hamil, turun jauh ke kalangan anak-anak dan pengetahuan mereka dalam film Masih Kecil. Film garapan Faishal Amri dan Erwin Prasetnya K. ini mengejawantahkan kesalahpahaman serta wawasan anak-anak yang kurang mengenai edukasi seks melalui didikan dari orang tua. Alih-alih mendapat pengetahuan yang memadai dari orang tua masing-masing, anak-anak justru (tanpa sadar) mengedukasi diri sendiri mengenai seks dari sumber-sumber lain yang belum tentu memadai serta kredibel. Namun, sineas Masih Kecil menghindari pengemasan isu tersebut begitu ketat dan terkesan tendensius menyalahkan orang tua, dengan menghadirkannya secara ringan melalui komedi-komedi. Tindakan ini terbilang tepat mengingat luasnya segmentasi penonton, pun agar anak-anak memperoleh edukasi yang memadai tanpa harus memaksa dengan mencekoki banyak informasi dan penjelasan terkait seks kepada mereka.

Sultan Labok, oleh Dicky Firjayanto.
Sultan Labok, oleh Dicky Firjayanto.

Tingkat keringanan Masih Kecil dalam menuturkan persoalannya, menjadi jeda setelah penonton dihanyutkan oleh Nasalis Larvatus yang informatif dan Rahim Puan yang menyesakkan, menuju film keempat dalam Slot 2, Sultan Labok. Film dokumenter pendek dari Dicky Firjayanto ini menunjukkan sisi lain di balik layar perkembangan dan perjalanan terbaru sebuah daerah yang menjadi tempat berdirinya salah satu kerajaan tertua di Nusantara dulu. Film ini membuka fakta-fakta baru kepada khalayak luas, bahwa ada konflik di lingkungan keluarga atau kerabat keturunan raja-raja terdahulu.

Booking Out, oleh Fuad Hilmi Hirnanda dan Khanif Irkham Muzaki.
Booking Out, oleh Fuad Hilmi Hirnanda dan Khanif Irkham Muzaki.

Sementara itu sebagai penutup Slot 2 sekaligus keseluruhan pemutaran, Booking Out menjadi satu-satunya film dengan jenis dan pilihan cara bertutur berbeda, melalui kombinasi fiksi dan dokumenter (mokumenter, akan sedikit dijelaskan nanti). Film karya Fuad Hilmi Hirnanda dan Khanif Irkham Muzaki ini mengangkat sebuah isu yang sebetulnya lebih akrab di kalangan orang-orang penghuni ‘ruang-ruang bawah tanah’, yakni transaksi pemuas kebutuhan kaum laki-laki terhadap keberadaan sosok perempuan. Sebetulnya secara tidak langsung, Booking Out masih memiliki kaitan dengan Rahim Puan dalam hal perempuan sebagai subordinat atau objek. Keberadaan mereka tak ubahnya barang dagangan yang bisa ditawarkan atau diperjualbelikan kapan saja. Namun, film ini memiliki pilihan cara bertuturnya sendiri sesuai muasal keberangkatannya. Booking Out pun berupaya menyuarakan pandangan dari berbagai pihak terkait isunya, dengan menghadirkan sejumlah segmen yang meliputi sang pemilik akun atau penawar jasa, para klien, termasuk salah seorang perempuan sebagai objeknya.

Sedikit menjelaskan mengenai mokumenter, ia merupakan gabungan dari mock dan documentary. Definisinya sendiri adalah jenis film atau acara televisi yang menggambarkan peristiwa fiksi, tapi disajikan secara dokumenter. Mokumenter bisa pula didefinisikan sebagai film fiksi yang dikemas dalam bentuk dokumenter atau found footage. Fungsinya, seringkali untuk menganalisis komentar atau kejadian dan persoalan terkini dengan konsep fiksi, atau menciptakan parodi dokumenter atas hal-hal tersebut. Dalam praktik secara lebih luasnya, akan sering dijumpai irisan-irisan fiksi dan dokumenter dalam banyak bentuk dan istilah, seperti komedi mokumenter, mokumenter dramatik, dokufiksi, serta dokudrama. Mokumenter biasanya dimanfaatkan sebagai dokumentasi sejarah membahas peristiwa masa lalu. Satu atau seluruh bagian dalam pembuatan mokumenter seringkali merupakan improvisasi.

Dari segi sinematik, Slot 2 diisi oleh film-film dengan satu-dua kualitas yang naik-turun. Sebut saja keseimbangan suara antara satu film dengan film lain, hingga sekecil aspek keberadaan teks bantuan atau terjemahan (subtitles). Kendati demikian, bila ditinjau dari sisi culture studies (studi budaya) yang diangkat, isu-isu penting dapat dikataloguskan secara gamblang, baik sejak era lampau maupun sampai detik ini.

Bisa dibilang, secara garis besar film-film yang telah ditayangkan merupakan hasil dari pengolahan masing-masing sineas sesuai persepsi mereka terhadap isu-isu di lingkungan sekitar. Mereka pun memiliki ciri khas dan keahlian tersendiri dalam menghadirkan kegelisahan terkait isu-isu tersebut, hingga menjadi beragam bentuk.

 

Slot 1: Konflik Ruang Hidup dan Kesalahpahaman dalam Ekosistem Plural Manusia-Alam

1 reply on “ Dilema dan Konflik Kepentingan-Kebutuhan Kalangan Atas Hingga ‘Ruang-Ruang Bawah Tanah’ ”
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.