Eksplorasi Mainstream Film Indonesia Bertema Kelainan Psikologis

Film merupakan media penyatuan beragam unsur seni dan budaya. Film dapat mewadahi seni rupa, musik, drama, animasi, fotografi, tari, dan lain sebagainya menjadi satu bentuk media baru. Media yang utuh sebagai bentuk baru dan mampu berdiri sendiri serta diputar berulangkali dalam setiap kesempatan sesuai kebutuhan.

Poster film Beth (2002), disutradari dan diproduseri oleh Aria Kusumadewa, berdurasi 84 menit. Skenario ditulis oleh Nana Mulyana./ Sumber: filmindonesia.or.id

Kehadiran film mampu memuat berbagai macam kepentingan, maksud, tujuan, dan cita-cita. Satu di antaranya adalah menyampaikan serta mengampanyekan kelainan psikologis kepada khalayak umum. Hal tersebut sampai saat ini masih dilakukan sebatas alakadarnya. Seringkali, jika suatu film dibuat dengan membawakan tema kelainan psikologis, lingkupnya selalu berkutat di sekitar latar belakang misterius. Meskipun hanya ada dua sampai tiga film dalam kurun waktu satu dekade yang sukses menghadirkan wajah baru dalam jagad kelainan psikologis.

Selain penggunaan latar belakang misterius, film-film bertemakan kelainan psikologis pada dekade pertama abad 21, selalu berputar-putar dalam lingkaran ‘memasukkan tokoh yang mengidap kelainan psikologis ke dalam rumah sakit jiwa’. Salah satu contohnya adalah film Beth (2002).

Dunia film seakan-akan mengamini konsep-konsep tersebut dan menilai bahwa itu sah-sah saja dilakukan. Namun di tengah pluralisme penduduk Indonesia, film pun dapat cukup mudah membentuk persepsi dan menciptakan interpretasi berbeda-beda kepada masyarakat awam. Seperti pisau bermata ganda, bila seorang sineas gagal memposisikan tema kelainan psikologis sesuai fakta. Terutama, penggambaran dan orientasinya yang dapat menimbulkan konklusi bahwa seorang pengidap kelainan psikologis harus menjadi penghuni rumah sakit jiwa.

Kasus-kasus semacam itu menegaskan bahwa kelainan psikologis selama ini dinilai sebagai suatu penyakit yang memalukan bahkan semacam aib yang dapat mengganggu ‘martabat’ keluarga, sehingga perlu ditutupi dan dirahasiakan. Tokoh pengidap kelainan psikologis diposisikan menjadi korban dari kebingungan orang-orang sekitar atas permasalahan yang dialami dan cara menghadapainya (Iswandari, 2011:116-117).[1] Perlakuan semacam ini tentu akan sangat berbahaya bagi orang-orang yang mengidap kelainan psikologis itu sendiri. Mengingat bahaya interpretasi dari masyarakat awam terhadap berbagai macam pengidap kelainan psikologis, secara simbolis akan mengerucut pada definisi sakit jiwa (gila).

Poster film Fiksi (2008), disutradarai oleh Mouly Surya, berdurasi 110 menit. Skenario ditulis oleh Joko Anwar dan Mouly Surya.
http://movfreak.blogspot.co.id/2012/05/fiksi-2008.html

Dikotomi terhadap seorang penderita kelainan psikologis tentu tidak hanya berhenti di situ saja. Kurangnya eksplorasi dari para sineas Indonesia atas esensi dari tema-tema seputar kelainan psikologis untuk sebuah cerita film, membuat tema-tema tersebut selalu hanya terurai permukaannya saja. Definisi dari kelainan psikologis kemudian serta-merta direduksi begitu saja. Lantaran eksplorasi yang kurang, jenis-jenis kelainan psikologis lainnya menjadi tidak diketahui secara benar dan tepat oleh masyarakat awam. “Hingga abad ini, masyarakat umum masih menilai kegilaan sebagai sesuatu yang negatif, tidak wajar, dan penderitanya memiliki status lebih rendah dari orang waras” (Iswandari, 2011:114).[2]

Film merupakan salah satu media komunikasi massa, di samping surat kabar, majalah, radio, dan telvisi. Jika pada kenyataannya film-film yang dibuat sengaja ditujukan untuk membawa tema-tema seputar kelainan psikologis, maka penting kemudian untuk mengeksplorasi lebih jauh cabang-cabang serta tingkatan dari kelainan psikologis. Terlebih, mengenai semakin beragamnya fakta-fakta cara menghadapi para pengidap kelainan psikologis tersebut. Dengan kata lain, film sebagai media komunikasi massa memiliki peran penting dan krusial sebagai mediator berkemampuan deskriptif, informatif, dan edukatif, antara sineas dan penonton terkait personality disorder, agar tidak terus-menerus membiarkan stereotip negatif melekat di sekitar para pengidap kelainan psikologis.

“Film memang tidak dapat memengaruhi masyarakat untuk mengubah sikap, tetapi film cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan masyarakat” (Pranajaya, 1999:14).[3]

[Miftachul Arifin / Televisi dan Film  2015]

[1] Ramayda Akmal, – Aprinus Salam, Membaca Sinema Indonesia, (Sleman: ICE (Institute for Civil Empowerment, 2011), Cet. 1, 114.

[2] Ibid., hlm. 116-117.

[3] Adi Pranajaya, Film dan Masyarakat: Sebuah Pengantar, (Jakarta: BP SDM CITRA: Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, 1999), Cet. 2, 14.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.