(7/10/2024) Yogyakarta, Indonesia — Institut Seni Indonesia Yogyakarta berencana untuk bertransformasi menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berstatus Badan Layanan Umum (BLU) pada tahun 2025. Meskipun belum ada pengumuman resmi kepada publik, kabar ini telah menyebar di kalangan civitas kampus. Saat ini ISI Yogyakarta masih berstatus PTN Satuan Kerja (SATKER), ketika menjadi BLU tentu akan ada banyak perubahan sistem yang terjadi. Apa yang kemudian membedakan antara status PTN SATKER dan BLU ini?
1. Pengelolaan Keuangan
- SATKER: Saat ini, ISI Yogyakarta mengelola anggarannya secara terpusat dan terikat pada prosedur yang ketat dari pemerintah. Hal ini membatasi fleksibilitas dalam penggunaan dana.
- PTN BLU: Dengan status BLU, universitas/institut akan memiliki kebebasan lebih dalam pengelolaan keuangan. ISI Yogyakarta dapat memungut biaya dari layanan tertentu dan mengelola pendapatan tersebut untuk pengembangan program dan fasilitas.
2. Otonomi dan Inovasi
- SATKER: Otonomi ISI Yogyakarta dalam pengambilan keputusan terbatas, seringkali harus mengikuti kebijakan dan regulasi yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- PTN BLU: Status BLU memberikan otonomi yang lebih besar, memungkinkan ISI Yogyakarta untuk lebih inovatif dalam merancang kurikulum, program studi, dan kerja sama dengan pihak lain.
3. Fokus Pelayanan
- SATKER: Fokus utama saat ini adalah memenuhi kewajiban administrasi dan pelaksanaan program yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
- PTN BLU: Dengan perubahan status, ISI Yogyakarta akan lebih berorientasi pada pelayanan publik, dengan kemampuan untuk menyesuaikan program dan layanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman.
4. Akuntabilitas
- SATKER: Akuntabilitas lebih terfokus pada laporan penggunaan anggaran yang ketat sesuai regulasi pemerintah.
- PTN BLU: Meskipun tetap harus mempertanggungjawabkan penggunaan dana, terdapat lebih banyak ruang untuk eksperimen dan pengembangan, sehingga ISI Yogyakarta dapat lebih responsif terhadap umpan balik dari mahasiswa dan masyarakat.
Singkatnya dengan status BLU, ISI Yogyakarta akan memiliki fleksibilitas lebih dalam pengelolaan keuangan, otonomi yang lebih besar dalam pengambilan keputusan, serta kemampuan untuk lebih fokus pada pelayanan publik dan inovasi. Hal ini diharapkan akan meningkatkan kualitas pendidikan dan layanan yang dapat diberikan kepada mahasiswa dan masyarakat, menjadikan ISI Yogyakarta lebih responsif terhadap kebutuhan zaman. Rencana perubahan status ini diharapkan dapat mendorong ISI Yogyakarta untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan layanan seni yang ditawarkan.
Lalu timbul pertanyaan apakah ISI Yogyakarta siap untuk segera menjadi BLU dalam waktu dekat? Salah satu yang paling menjadi sorotan adalah sistem pengelolaan keuangan nantinya, yang mana dengan menjadi BLU kampus dapat menghasilkan pendapatan dari layanan yang mereka tawarkan. Akan tetapi apa yang akan kampus tawarkan untuk “dijual” yang akan menjadi sumber pendapatan kampus.
Menurut salah satu dosen Jurusan Kriya, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ISI Yogyakarta, Dr. Arif Suharson, S.Sn., M.Sn., kita harus memikirkan apa yang akan kita jual. Ia memaparkan bahwa sebenarnya memang banyak yang bisa kita jual.
“Contohnya Kriya itu salah satu yang paling menjual. Dengan apa? Dengan menjual sistem pelatihan, kita bisa buat paket wisata, paket kunjungan, itu yang pertama. Yang kedua, menyewakan fasilitas kampus seperti gedung serbaguna, concert hall, dan galeri. Tapi kita harus survei market dulu, kita harus memetakan pasar dan studi kelayakan supaya kita bisa menjual, jangan sampai terlalu mahal juga,” tambahnya.
Dr. Arif Suharson, S.Sn., M.Sn. menyatakan ketidaksetujuannya pada perubahan status kampus menjadi BLU itu hanya pada caranya menuju BLU. Menurutnya, yang dilihat sekarang cara menuju BLU itu hanya berorientasi pada segmentasi “anak-anak modern”, seperti membuka program studi baru, D4 Desain Media contohnya. Hal ini seharusnya juga memperhatikan sektor yang lebih konservatif walaupun tidak terlalu banyak peminatnya mungkin, dikarenakan seni yang sifatnya local wisdom harus dikuatkan.
“Justru itulah yang punya nilai jual tinggi nantinya, kalau bisa keduanya kenapa tidak, jangan salah satu. Seperti kaki ini, nih dua-duanya jalan bareng melangkah, kan bisa,” pungkasnya.
Ia menyampaikan prodi D4 Desain Mode Kriya Batik sebagai contoh. “Desain mode fashion” sebagai penarik minat segmentasi anak-anak modern dan tetap membawa nilai local wisdom dengan “kriya batik”-nya. Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa beliau adalah salah satu yang maju bersama rektor ke DPR RI bertemu Komisi 10.
“Ketika di sana disampaikan (jurusan) seni yang tidak memenuhi standar minimal 20 mahasiswa akan langsung ditutup. Saya langsung berbicara ‘Bagaimana dengan Jurusan Konservasi Seni? Anda ingat ada Pedalangan? Karawitan?’ Kalau ditutup siapa yang mau meneruskan? Itu, kan sifatnya memang pelestarian yang sulit jika mementingkan kuantitas. Saya yakin yang melokal akan mengglobal,” tegasnya.
Hal ini juga sejalan dengan yang disampaikan salah satu dosen FSRD ISI Yogyakarta lainnya, yaitu Indro Baskoro M.P., M.Sn.
“Kita tidak harus selalu terpengaruh dengan perkembangan (seni) Dunia Barat. Kita jelas ketinggalan jauh, tapi paling tidak ketika kita benar-benar menguasai seni kita sendiri, saya rasa itu akan mendatangkan perhatian dari mana-mana. Akan tetapi ketika kita mengekor yang di global itu, ya tidak akan ada yang datang ke sini, karena kita hanya jadi penggembira, prodi-prodi yang khusus di ISI itu sebenarnya sumber pendapatannya justru lebih potensial jika dikelola dengan baik,” tuturnya.
Ketika menjadi BLU tidak bisa dipungkiri secara langsung maupun tidak langsung akan terjadi komersialisasi pendidikan. Salah satu upaya kampus untuk menambah pendapatan biasanya adalah dengan menambah kuantitas penerimaan mahasiswa baru dan penambahan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada mahasiswa. Apakah kemudian dengan penambahan kuantitas mahasiswa ini juga mempengaruhi kualitas kriteria penerimaan mahasiswa? Karena berbeda dengan jurusan-jurusan di kampus lainnya, untuk masuk kampus dengan jurusan-jurusan seni tentunya mahasiswa harus memiliki kemampuan dan keterampilan teknis seni secara langsung. Semisal dalam satu angkatan ada 200 calon mahasiswa yang mendaftar dan kuota yang disediakan kampus adalah 200 mahasiswa. Lalu yang sebenarnya sudah memiliki skill yang masuk kriteria dan layak untuk diterima hanya 100 calon mahasiswa saja, apakah sisanya tetap akan diterima untuk memenuhi kuota penerimaan yang disediakan?
Di samping itu, dosen Jurusan Kriya Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ISI Yogyakarta, Sumino, S.Sn., M.A., salah satu dosen yang mengaku hadir pada pertemuan bersama wakil dari Dirjen Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) dan para pejabat kampus di Gedung Concert Hall ISI Yogyakarta pada beberapa waktu lalu turut menyampaikan bahwa tidak boleh ditutup-tutupi bahwa perihal ini arahnya memang ke komersial. Akan tetapi pengertian komersial itu tidak boleh kemudian mengurangi kualitas pendidikan. Justru karena banyak penghasilan masuk kita jadi bisa meningkatkan layanan pendidikan. Jika menjadi BLU tentu pengadaan dan penggunaan anggaran untuk itu jadi lebih fleksibel karena dikelola sendiri langsung oleh kampus. Beliau juga berpendapat bahwa penurunan kualitas penerimaan mahasiswa itu di awal-awal memang akan terjadi yang mana hal ini merupakan masalah kebijakan saja, bagaimana lembaga kita bisa menyiasati itu secara bertahap. Harapannya setelah menjadi BLU ada peningkatan kualitas pelayanan pendidikan dan ini diikuti dengan jumlah minat calon mahasiswa berkualitas yang meningkat pula.
Sumino, S.Sn., M.A. juga menambahkan bahwa sejatinya siap tidak siap kita harus siap, dikarenakan jika tidak dimulai kita tidak akan pernah siap. Menuju BLU itu perlu tahapan dan strategi yang mana kita harus melalui itu supaya betul-betul terjadi perubahan menjadi BLU. Beliau optimis, sebagai kampus seni kita memiliki banyak potensi untuk “dijual”. Bukan hanya produk-produk yang kita buat tetapi juga Sumber Daya Manusia (SDM)-nya itu sendiri. Contohnya skill mahasiswa dalam mendesain, kita seharusnya bisa memanfaatkan itu entah dengan kita bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan atau instansi-instansi tertentu dan menjual semua potensi itu dalam berbagai bentuk kerja sama. Sumino, S.Sn., M.A. menyatakan full optimis pada rencana BLU ini.
“Saya berharap ISI tidak mengurung dirinya di dalam kampus. ISI harus mau bersosialisasi dengan siapapun, baik itu perusahaan atau PTN lain, atau stakeholder yang betul-betul berkompeten. Kalau ISI tidak mau seperti itu rencana BLU ini akan panjang, harus mau membuka diri. Selama ini kan ISI bergelut dengan dirinya sendiri. Kalau kita tidak mau membuka diri siapa yang mau lihat? Saya sudah memulai mendokumentasikan karya-karya mahasiswa walaupun tidak ditugaskan, karena itulah yang bisa kita tawarkan. Orang lain tidak akan tahu kalau kita tidak punya dokumen itu. Menunjukan ISI kepada masyarakat luas, membuka diri,” pesan beliau pabila kampus ini mau menjadi BLU.
Saat ditanyai apakah setuju kampus ISI Yogyakarta menjadi BLU, sebagai dosen biasa yang tidak ikut mengambil keputusan dan kebijakan, Indro Baskoro M.P., M.Sn. memberikan pemaparan jawabannya.
“Kalau ditanya apakah itu baik, melihat PTN lainnya yang sudah menjadi BLU memang terlihat lebih baik. Tapi itu, kan kita hanya melihat dari luar. Kita tidak tahu di dalam seperti apa. Dan yang kedua apakah itu cocok untuk kita? Itu hal yang lain lagi. Kita yang tidak terlibat perencanaan hanya akan melaksanakan saja. Asal tujuannya memang agar kampus mencapai tingkatan yang lebih baik, bukan hanya untuk kalangan dosen tapi semua civitas kampus. Harusnya, kan kampus seni itu membuat kita happy. Selama ini, kan kita digeneralisasi, yang di seni dengan yang tidak di seni diperlakukan sama. Apakah kita hanya mengandalkan dari jumlah mahasiswa yang banyak?“ paparnya.
Beliau menjelaskan bahwa ilmu-ilmu SDM yang ada di kampus seni itu kalau diberdayakan jauh lebih berdaya guna dari pada hanya menerima jumlah mahasiswa yang banyak. Hal ini dikarenakan dalam kehidupan kita tidak pernah terlepas dari persoalan seni kalau kita bisa menempatkan kampus kita dalam segala aspek yang ada dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kalau kita hanya menjadi mercusuar di sekitar kita, istilahnya hanya menjadi jago kandang nantinya. Menurutnya untuk menjadi BLU, semua civitas kampus harus memahami betul apa yang mesti dilakukan. Aturan main yang seperti apa nantinya ketika berubah menjadi BLU harus ada transparansi.
”Jika tidak ada transparansi jangan harapkan menjadi baik. Jadi SATKER yang baik kenapa tidak? Menjadi BLU yang baik kenapa tidak? Dan kalau kita bisa menjalin kerja sama yang baik dari mulai lingkup terkecil, dengan masyarakat misalnya, kabupaten, lalu terus lebih besar lagi ke lingkup yang lebih luas lagi,” jelasnya.
Saya sebagai penulis yang masih menjadi mahasiswa aktif kampus ini tentu berharap adanya banyak perubahan baik terjadi dan berimbas langsung kepada mahasiswa jika kita menjadi BLU. Akan tetapi, nantinya ada hal yang dikhawatirkan para mahasiswa aktif ISI Yogyakarta, yaitu timbul pertanyaan apakah mahasiswa aktif juga akan terimbas jika terjadi kenaikan biaya UKT?
Menurut saya, mungkin saja akan terjadi beberapa kendala dalam proses transisi ini. Perubahan regulasi dan kebijakan yang mengatur operasional BLU bisa memerlukan waktu untuk penyesuaian yang dapat mengganggu proses administratif. Lalu dari sektor pengelolaan anggaran yang tadinya hanya berbasis APBN ke sistem pendapatan dan biaya yang lebih otonom dapat menimbulkan kebingungan dan kesulitan dalam pengelolaan keuangaan. Karyawan mungkin perlu pelatihan dan pemahaman baru tentang sistem BLU. Tak dapat dipungkiri ada juga risiko penolakan terhadap perubahan tersebut dari pegawai yang sudah terbiasa dengan sistem sebelumnya.
Kita sudah banyak membahas soal kemungkinan apa saja yang akan kampus buat untuk sumber pendanaan, tetapi apakah itu akan stabil? Jika pendapatan dari layanan tidak sesuai harapan, bisa ada kekurangan dana yang mempengaruhi operasional dan kualitas layanan. Peningkatan otonomi juga memerlukan pengawasan dan akuntabilitas yang lebih ketat. Jika tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan kurangnya transparansi dalam penggunaan dana.
Lalu jika kampus disibukan dengan pencarian keuntungan pemasukan itu, ada risiko penurunan kualitas layanan pendidikan ketika fokus lebih diarahkan pada profitabilitas daripada pengembangan akademik dan fasilitas. Dalam sistem BLU, PTN mungkin harus bersaing dengan lembaga pendidikan lain dalam menarik mahasiswa, yang bisa memicu praktik-praktik tidak etis atau mengurangi aksesibilitas pendidikan.
Perubahan ini dapat mempengaruhi berbagai pihak, termasuk mahasiswa, dosen, dan masyarakat sekitar, yang mungkin merasa terasing dari proses pengambilan keputusan. Harapannya, semoga kampus selalu mau dan mampu memikirkan kepentingan semua pihak ini tanpa menghilangkan esensi pendidikan.
Teks oleh: Satria Alan D. / PRESSISI 12