(8/9/2024) Tak kalah menegangkan, kegiatan arak-arakan hari kedua yang membersamai acara Wisuda ISI Yogyakarta 2024 kembali mencuri perhatian khalayak umum. Arak-arakan ini ikut diramaikan oleh seluruh jurusan yang tergabung di Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) ISI Yogyakarta, antara lain Jurusan Tari, Karawitan, Musik, Penciptaan Musik, Pendidikan Musik, Penyajian Musik, Teater, Etnomusikologi, Seni Pedalangan, serta Jurusan Pendidikan Seni Pertunjukan, baik pada hari pertama maupun kedua. Tidak hanya sebagai bentuk acara untuk memeriahkan wisuda, para peserta arak-arakan juga menyoroti kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang masih hangat di lingkungan ISI Yogyakarta.
Prosesi berjalannya arak-arakan diawali dengan silent march oleh para mahasiswa dari Jurusan Teater dengan membawa mobil pick-up serta menampilkan performance singkat menyinggung kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang sedang terjadi. Diperankan oleh karakter dalam serial “Upin & Ipin” yang mewakili para pelaku pelecehan dan kekerasan seksual serta para korban yang ditampilkan dengan posisi terikat di atas mobil, mereka berupaya untuk menggambarkan situasi psikis yang dialami para korban.
Adanya penampilan aksi ini menyatakan situasi berkabung yang sedang dialami oleh para mahasiswa terutama di Jurusan Teater. Melalui aksi ini, mereka ingin menyatakan keberpihakan dan bela sungkawa kepada korban atas kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang sedang terjadi di kampus ISI Yogyakarta. Dengan rute yang kurang lebih sama seperti hari pertama wisuda, para mahasiswa yang mengikuti arak-arakan berjalan dengan titik awal dari Gedung Fakultas Seni Pertunjukan menuju ke Gedung Laboratorium Seni untuk kemudian menjemput para kakak tingkat kembali ke gedung jurusan masing-masing.
Tim liputan menyempatkan diri untuk mewawancarai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa FSP guna dimintai keterangannya terkait konsep penampilan arak-arakan yang ingin ditampilkan pada hari kedua wisuda ini. Ia menjelaskan bahwa tahun ini para mahasiswa Jurusan Teater menyatakan situasi berkabung dengan menyuarakan aksi tentang kasus yang sedang terjadi di kampus ISI Yogyakarta. Hal ini merupakan salah satu bentuk sikap bahwa mahasiswa menolak adanya kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di kampus, juga sebagai bukti bahwa mahasiswa tidak tinggal diam dan akan tetap bersuara untuk menolak segala bentuk pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi.
“Di salah satu jurusan kami, yaitu Jurusan Teater, mereka membuat konsep dengan memakai pakaian serba hitam dan ini berkaitan dengan apa yang sedang terjadi saat ini di kampus. Dimana mereka menampilkan dua perempuan yang terikat, seolah-olah (mereka) tidak bisa bersuara, bahkan disuruh bungkam kalau bisa dan tidak ada kelanjutan dari kasus ini. Secara tidak langsung di sini kami juga mengatakan kalau yang terjadi ini sebagai bentuk pembelajaran untuk jurusan yang lain,” papar Samuel Encem, Ketua BEM FSP ISI Yogyakarta.
Penampilan arak-arakan dari para mahasiswa yang berasal dari Jurusan Teater pada hari pertama dan kedua ini sebelumnya telah mengantongi izin dari Kepala Jurusan Teater. Saat kami wawancarai, salah satu mahasiswa dari Jurusan Teater memberikan keterangan bahwa arak-arakan yang mereka sajikan dibedakan menjadi dua konsep yang berbeda untuk hari pertama dan kedua. Konsep hari pertama memang sengaja membawa tema anak-anak karena mereka ingin mencoba untuk tetap menghadirkan euforia wisuda walaupun sedang berada di posisi seperti ini (adanya kasus pelecehan dan pelecehan dan kekerasan seksual di ISI Yogyakarta). Maka dari itu mereka berusaha memanfaatkan adanya dua hari wisuda ini dengan tetap membagi juga proyeksi (konsep) yang telah dipersiapkan. Tema arak-arakan pada hari pertama yang mengusung konsep ceria serta hari kedua yang membawakan tema perlawanan, bersinggungan dengan kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang tengah terjadi saat ini.
“Karena kami memang konsepnya silent march, ada beberapa performatif dan juga teatrikal yang akan dimainkan selama di perjalanan, mungkin nanti bisa dilihat secara langsung. Kami pun menghadirkannya (teatrikal) dengan simbol-simbol saja. Jadi menonjolkan nilai semiotikanya,” jelas narasumber yang tidak ingin disebutkan namanya.
Tak hanya itu, aksi arak-arakan oleh jurusan-jurusan yang ada di Fakultas Seni Pertunjukan ini juga menyita perhatian khalayak dengan pembawaan konsep yang unik dan variatif. Seperti dari Jurusan Tari yang mengusung serial animasi “Shaun the Sheep”, Jurusan Etnomusikologi yang mengusung tema dunia terbalik dimana laki-laki berpakaian seperti perempuan dan sebaliknya perempuan berpakaian seperti laki-laki, serta sajian konsep arak-arakan yang tak kalah menarik dari jurusan lainnya. Persiapan yang telah dilakukan oleh para mahasiswa ini tentunya telah direncanakan dengan matang dengan persiapan yang maksimal dari jauh-jauh hari.
“Dari konsep sendiri kita ambil yang have fun karena belakangan ini kampus banyak diterpa isu-isu yang gelap-gelap. Jadi kita sedikit memberi keceriaan dan kebahagiaan kepada audiens di mana kita mengambil tema serial “Shaun the Sheep”. Nah, ini temanya sendiri berangkat dari para mahasiswa itu sendiri. Mereka mengusung tema sendiri, jadi sepakat untuk membuat itu seperti yang bisa kita lihat tadi, kostum-kostumnya sudah disiapkan oleh mereka,” ujar Arga, Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Tari ISI Yogyakarta saat diwawancarai.
Arga juga menambahkan bahwa harapannya terkait kasus yang sedang terjadi ini agar pihak-pihak yang berwenang bisa memberikan keadilan untuk para korban, karena ia cukup mengikuti kasus ini tetapi banyak hal yang sebenarnya belum ditindak secara tegas. Terutama ia menyoroti kerja dari tim SATGAS PPKS ISI Yogyakarta yang sampai sekarang tidak muncul sama sekali meskipun sudah ada siaran pers dari pihak rektorat yang dibagikan melalui broadcasting Whatsapp. Sayangnya, dari pihak SATGAS PPKS sendiri belum ada indikasi atau apapun yang disampaikan kepada publik.
Sementara itu, aksi simbolik juga ditunjukkan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan mengibarkan bendera ISI Yogyakarta setengah tiang di depan Gedung Rektorat Lama sebagai bentuk bela sungkawa atas kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang tidak kunjung menemukan titik terangnya. Tak hanya itu, poster-poster yang menyinggung terkait kasus ini juga tersebar di berbagai titik wilayah kampus ISI Yogyakarta, serta tak sedikit mahasiswa yang terlibat arak-arakan juga ikut menggaungkan poster-poster tersebut selama proses arak-arakan. Poster-poster yang tersebar ini diketahui merupakan media publikasi yang pernah dipublikasikan di laman Instagram official @isi.bergerak, salah satu media yang terlibat pula dalam menyuarakan kasus ini.
Kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang tengah terjadi di ISI Yogyakarta hingga detik ini masih menjadi topik hangat yang akan terus diperbincangkan. Kabar mengenai kasus ini bertambah nyaris setiap hari. Mirisnya, beberapa kasus datang dari tenaga pengajar yang seharusnya mengayomi. Hal ini terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa dan penyalahgunaan wewenang sebagai pengajar. Di samping itu, tidak sedikit pula kasus yang terjadi antar mahasiswa, menandakan jika yang muncul ke permukaan saat ini hanya bagian kecil dari gunung es yang selama ini tenggelam. Mari tetap kawal terus kasus ini hingga para korban mendapatkan keadilan yang sesungguhnya hingga tidak ada lagi kasus sama yang terjadi ke depannya.
Penulis:
Maria Santissima – Desain Produk 2022 / Pressisi 11
Poetry Raya – TKS 2023 / Pressisi 12
Fotografer:
Rahmi Listiana – DKV 2022 / Pressisi 11
Nurul Amal – FTV 2022 / Pressisi 11