Yatim, di-bully, lalu terinspirasi menjadi pahlawan. Demikianlah kesamaan pola plot dari hampir semua film superhero yang kita tonton selama ini. Pola ini memiliki paralel yang cukup relevan dengan alam bawah sadar kita ketika menyadari kehidupan tidak selancar yang kita inginkan. Tidak jarang bila kemudian kita membayangkan diri menjadi sosok yang sukses, dikagumi, atau tinggi di mata orang. Seperti halnya tokoh utama film superhero. Sehingga, tidak heran bila kedekatan emosional ini membuat film superhero begitu menghibur, terlepas bagaimana visual effect dan soundtrack-nya yang begitu memanjakan emosi.
Superhero atau pahlawan super memiliki arti menjadi penolong bagi banyak orang dengan kekuatan super yang mereka punya. Bahkan tidak sedikit superhero yang dikonsepkan merahasiakan identitasnya untuk menghindari ketenaran atau agar tidak disasar penjahatnya ketika tidak beraksi. Sepintas, pesan sublim ini terdengar mulia. Namun, sadarkah kita bila pesan itu bermasalah?
Superhero sebagai simbol eskapisme
Dalam The Dictionary of Psychology yang ditulis Ray Corsini, ada istilah yang dikenal sebagai Eskapisme. Istilah itu dipakai untuk menjelaskan hasrat melarikan diri dengan berpikir, merasakan, dan berperilaku yang umumnya merupakan bentuk penolakan terhadap realita. (Corsini, 2002) Film superhero tentu sangat lekat dengan eskapisme. Betapa tidak? Sebelum menjadi sosok yang menginspirasi, tokoh utama diceritakan menghadapi realita yang “tidak disukainya.”
Misal seperti menjadi superhero karena ingin melampiaskan dendam terhadap pembunuh orangtua atau ingin merasa berguna bagi masyarakat karena terlalu jenuh di-bully teman sekolah, sedangkan pelarian itu sendiri tidak punya korelasi yang jelas dalam penyelesaian masalah pribadinya. Malah menambah masalah baru bila penjahatnya menang.
Selain itu, tidak jarang bila dalam ceritanya salah satu tokoh pendukung mengetahui identitas rahasia tokoh utama dan karakterisasi mereka pun dibuat lebih menerima tokoh utama atau malah jatuh cinta. Pesan sublimnya: Kalau kamu sosok yang penting dan dikagumi banyak orang, kamu adalah orang baik.
Pola ini pun secara tidak langsung mengaminkan pola pikir masyarakat kita yang bermasalah dalam memahami siapa yang pantas dianggap sebagai sosok pahlawan. Mengingat bintang film sendiri tergolong sebagai public figure, referensi kita pun tidak jauh dari sosok public figure dalam mendefinisikannya: penting dan dikagumi banyak orang.
Tentu paralel antara superhero dan public figure bukan sesuatu yang kebetulan, mengingat citra bintang film superhero sendiri sering disesuaikan oleh produsen film dengan pesan filmnya: heroisme. Misal seperti ketika bintang-bintang film Marvel sering membesuk pasien kanker dengan kostumnya dalam rangka mempromosikan filmnya. (Staff, 2016) Strategi ini pun cukup efektif mengingat pasien kanker sendiri adalah golongan yang juga kerap dicitrakan sebagai objek inspiration porn dalam berbagai media selain golongan disabilitas. Superhero sekali, bukan?
Narsisme dalam film superhero
“I am vengeance!” Kutipan ini sepintas terdengar seperti kata-kata yang intimidatif. Tapi, alih-alih ditujukan untuk menakuti penjahat, sebenarnya justru malah menampakkan sisi kejiwaan Batman yang sedang butuh pengakuan. Singkatnya, narsis. Hal itulah yang juga menjadi salah satu masalah utama dari film superhero.
Alih-alih menceritakan pesan kepahlawanan, film superhero lebih sering berfokus untuk mempercantik identitas dan mendramatisir aksi pahlawannya. Contoh lainnya seperti sengaja menghancurkan barang atau gedung di sekitarnya untuk menghentikan penjahat, walau akal sehat penonton sendiri menyadari bila sang pahlawan tidak harus melakukan hal yang hiperbolis itu.
Istilah narsis sendiri pertama kali dipopulerkan dalam dunia psikologi oleh Sigmund Freud untuk mengkategorikan kepribadian seseorang yang meyakini bahwa dirinya penting secara berlebihan dan berambisi untuk mendapatkan pengakuan publik. (Freud, 2017) Hal ini tentu dapat disejajarkan dengan “benang merah” dari sekian alasan yang mengantarkan tokoh utama kesayangan kita sebelum mereka memutuskan menjadi superhero berwujud apa:Krisis identitas.
Bila dikaitkan dengan eskapisme sebagai konklusinya, tentu masalah krisis identitas ini bisa jadi berbahaya bagi masyarakat dalam memahami definisi kepahlawanan karena bisa mengantarkan mereka pada pemahaman sublim lain yang terkesan inspiratif tapi bermasalah: Ketika kamu merasa jati dirimu tidak diterima, jadilah sosok yang bukan dirimu. Yang lebih celaka lagi, penyelesaian masalah yang dipakai film superhero pun hampir selalu berakhir dengan pertempuran. Sehingga, “menjadi orang lain” yang dimaksud film superhero adalah menjadi sosok yang menggunakan jalan kekerasan.
Bisakah superhero diselamatkan?
Format tema kisah superhero semestinya berfokus pada esensi penting sebagai hero (pahlawan) itu sendiri, alih-alih menjadi media yang mengajarkan eskapisme dan narsisme. Dengan kata lain, film superhero membutuhkan format yang lebih segar dan realistis dari sekedar menumpas kejahatan dengan kekuatan super atau beraksi dengan mengenakan topeng. Industri film superhero dapat berkaca pada manuver industri komik superhero ketika berusaha keluar dari stigma soal komik yang dianggap sebagai bacaan anak-anak. Misalnya seperti bagaimana Watchmen (1987) mengisahkan realitas superhero dalam komiknya. (Barber, 2016)
Alih-alih berfokus pada eskapisme dan narsisme, komik tersebut justru menjadi satire dan antitesis dari kisah superhero pada umumnya dengan mengkritik eskapisme dan narsisme itu sendiri. Konklusinya pun bahkan tidak membenarkan jalan “kehancuran” sebagai pondasi perdamaian, seperti halnya yang dilakukan film-film superhero menjelang akhir ceritanya.
Memang benar tidak semua superhero masa kini harus seperti komik Watchmen, tapi setidaknya film superhero harus memiliki pesan moral yang realistis agar dapat diterima semua kalangan. Dengan kata lain, esensi kepahlawanan dalam kisah superhero perlu “diluruskan” agar dapat lebih relevan dengan pengalaman dan kedewasaan penggemarnya. Yang jelas, pesan itu juga harus menghormati akal sehat semua orang agar kelak tidak bernasib sama seperti sinetron Indonesia.
Bibliography
Barber, N. (2016, October 9). Watchmen: The moment comic books grew up. Retrieved from BBC: https://www.bbc.com/culture/article/20160809-watchmen-the-moment-comic-books-grew-up
Corsini, R. (2002). The Dictionary of Psychology. London: Routledge.
Freud, S. (2017). A General Introduction To Psychoanalysis, Pengantar Umum Psikoanalisis. Yogyakarta: Indoliterasi.
Staff, I. (2016, May 24). ‘Avengers’ Stars Go on Their Most Important Mission: Visiting a Cancer-Stricken Fan. Retrieved from Inside Edition: https://www.insideedition.com/16599-avengers-stars-go-on-their-most-important-mission-visiting-a-cancer-stricken-fan
Teks oleh: Arief Rahman (DKV 2015, Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta)