Bambang Sugiharto (seorang Guru Besar Estetika, mengajar di Universitas Parahyangan, ITB, dan UNNES), dalam pengantarnya di buku Krisis dan Paradoks: Film Indonesia karya Garin Nugroho dan Dyna Herlina S. mengemukakan bahwa film merupakan bentuk seni yang paling “menyerupai” gerak kehidupan itu sendiri. Ia hadir bagai sepotong kehidupan yang diambil dan ditayangkan di layar. Terlepas dari jenisnya, fiksi ataupun dokumenter, film adalah manifestasi paling sesuai dan representatif sebagai respons atas situasi dan kondisi kehidupan konkret.
Sebagai suatu bentuk seni yang paling berpengaruh dalam pembentukan opini publik dan paling mampu menjangkau massa luas, tanpa pemikiran kritis atas alur tradisi dan bobot estetikanya, film bisa menjadi berbahaya: ia mudah menjadi siasat manipulasi massa. Maka dari itu, penting bagi setiap penonton film pun turut meluaskan wacana dan pengetahuannya tentang materi yang terdapat dalam setiap film, demi transparansi pemahaman hingga ke akar-akarnya.
Sesi kedua Pemutaran Karya Produksi Fiksi dan Dokumenter Praktika angkatan 2015 menayangkan satu film dokumenter dan dua film fiksi. Ketiga film ini pun memiliki satu kesamaan yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu. Meski berasal dari jenis berbeda, film-film dalam sesi kedua layaknya menempatkan sudut pandang dari sosok seorang wanita paruh baya. Sudut pandang tersebut kemudian diposisikan dalam film masing-masing sebagai pemberi pengaruh kepada tokoh utama, bahkan sebagai inti persoalan itu sendiri. Dari ketiga film yang diputar pada sesi ke-2, yakni Asih: Perempuan Jilid Dua, Eid, dan Tuh Kan Nek!, dua di antaranya menempatkan pola pikir seorang wanita paruh baya sebagai salah satu aspek untuk menggerakkan jalannya cerita dalam dua jenis film yang berbeda, yakni dokumenter dan fiksi.
Saat ini (2018), film dokumenter pun mendapatkan peran setara dalam hal kepentingannya, layaknya film fiksi. Meski masih harus disadari betul, pertumbuhan film dokumenter sejak diperkenalkan kali pertama pada tahun 1900, minat menonton, serta ruang-ruang yang tersedia di layar-layar bioskop belum sepenuhnya sanggup mengimbangi kejayaan film fiksi. Namun demikian, bagaimanapun peran film dokumenter seperti Asih: Perempuan Jilid Dua ini mampu menghadirkan alternatif lain untuk membawa wacana seks komersial kepada khalayak film. Bahkan, hal-hal teknis yang seringkali hanya dijumpai dalam film fiksi, mampu ditarik dan digunakan dalam film dokumenter. Terbilang lebih berkembang jika menilik jauh ke belakang saat pengenalan film dokumenter yang tidak terlalu populer pada masa Kolonialisme Belanda di Indonesia, sebab masih terbiasa berbudaya tutur fiksi layaknya di seni pertunjukan umumnya (Nugroho & Herlina, 2015:46).[1]
Asih: Perempuan Jilid Dua merupakan film dokumenter pendek dengan gaya Potret Rekonstruksi. Dalam sebuah film dokumenter, tentu saja cara bertuturnya akan cenderung dilakukan sesuai fakta. Fakta-fakta yang ada dituturkan melalui Asih, seorang wanita pekerja seks komersial yang telah pensiun. Asih, mengalami himpitan ekonomi di kehidupannya pada masa lalu, membawanya bertemu dengan beragam tipe laki-laki, jatuh cinta, hingga tetap ditinggalkan. Begitu sering perjumpaan dan perpisahan tersebut, bahkan sampai membuatnya memandang sosok laki-laki dengan cara berbeda.
Asih, dalam himpitan ekonomi dan kondisi sosial-budaya waktu itu, membuatnya tak memiliki banyak pilihan mata pencaharian asal kebutuhannya setiap hari dapat tetap tercukupi. Pengambilan pilihannya pun sebatas pada hal-hal yang dirasanya sudah cukup dikenal dan mudah diketahui orang. Meski demikian, Asih tak lantas tenggelam selamanya dalam kekeliruan moral yang hingga saat ini masih dipandang sebagai persoalan tabu untuk dibicarakan oleh masyarakat kontemporer di tengah kultur Jawa.
Pekerja Seks Komersial (PSK), selalu menjadi mata pencaharian yang dipandang hina dan kotor oleh masyarakat. Tak tanggung-tanggung, orang-orang dalam lingkaran pekerjaan tersebut pun dikucilkan. Sekalipun sejumlah kelompok pemikir kontemporer membawa topik tersebut ke tengah masyarakat dengan kultur dan referensi beragam, tidak cukup untuk setidaknya menemukan kebenaran di balik sosok-sosok PSK. Pemikiran-pemikiran sempit yang melingkupi persepsi praktis terlanjur mengental, mengendap, dan berkarat. Pemikiran-pemikiran yang membentuk kesimpulan usang, hingga sanggup menggeneralisir para pelaku seks komersial dengan stigma negatif, tanpa benar-benar menganggap penting segala bentuk referensi terkait sebagai pengetahuan.
Hal tersebut semestinya adalah serta-merta ketidak-tuntasan penanganan oleh pemerintah terkait, untuk meniadakan kebutuhan masyarakat minoritas terhadap seks komersial. Laki-laki membutuhkan kepuasan batin dari seks, sementara perempuan membutuhkan periuk dapurnya mengepul setiap hari. Apalagi jika bukan dengan cara memanfaatkan langkah-langkah instan. Meskipun itu berarti harus siap dicap rendah oleh masyarakat. Bukan soal benar-salah atau baik-buruk di mata masyarakat, atau juga soal peraturan dan larangan, melainkan sikap pemahaman dengan tangan terbuka terhadap kebutuhan manusia, serta penanganan yang betul-betul sepenuhnya solutif kepada semua pihak.
Alih-alih mengondisikan semua pihak beserta beragam stigma agar lebih kondusif dan adil, fakta yang terjadi justru lebih cenderung masa bodoh dan menyudutkan pilihan kaum minoritas menjadi sempit dan terbatas. Alhasil, persoalan-persoalan ringkih semacam ini masih akan tetap mengakar dan meradang jauh di bawah geliat kejayaan kebutuhan global.
Film Asih: Perempuan Jilid Dua adalah salah satu sumbangsih sebagai penggambaran faktual dan aktual dari seorang pelaku seks komersial itu sendiri. Sudut pandang sosok Asih terhadap salah satu mata pencaharian dengan stigma paling negatif dan tabu menjadi topik pembicaraan di tengah kultur masyarakat Jawa.
Berbicara tentang tema-tema dalam film-film Indonesia, terkhusus film pendek, tidak dapat dilepaskan dari adanya pengaruh pertumbuhan kota, teknologi, industri, serta senantiasa terkait dengan konteks politik, ekonomi, dan daya hidup budaya populer (Nugroho & Herlina, 2015:6 & 45).[2] Sejurus dengan perkembangannya hingga masa kini, tema-tema Islami pun tak ingin tampak ketinggalan untuk ambil bagian. Tetapi di balik tema-tema Islami yang turut menyemarakkan euforia perfilman, sesungguhnya terjadi nuansa paradoks antara wacana agama dan keterbukaan hidup (Nugroho & Herlina, 2015:274).[3]
Tema Islami tak habisnya menggurita di industri kreatif perfilman. Pergulatan hubungan film dan agama harus menjadi catatan tersendiri (Nugroho & Herlina, 2015:317).[4] Kecenderungan pemilihan tema ini mengakar dibarengi dengan beragam isu setempat. Mulai dari keluarga, sosial masyarakat, politik, ekonomi, hingga konflik-konflik internal dalam diri seseorang, alias konflik batin. Tentu tidak baik jika menyama-ratakan kualitas dari setiap karya audiovisual sekalipun memanfaatkan satu tema besar yang sama. Sebab film pendek tetap memiliki penonton dengan pertimbangan selera tersendiri. Pun demikian, tidak relevan jika dikaitkan dengan persoalan kesenian pada masa lalu yang hanya semata dilihat dari sudut pandang moral agama kelompok dominan (Nugroho & Herlina, 2015:281).[5]
Seperti film Eid, yang mengolah tema Islami menjadi salah satu bahasan penting dan berkelanjutan, yakni fenomena perbedaan keyakinan dalam setiap aliran di tubuh satu agama yang sama. Ironisnya, sejak agama ini mulai bercabang menjadi sejumlah aliran berbeda puluhan tahun hingga sekarang, tak jarang terjadi perbedaan pendapat hingga perselisihan di antaranya. Salah satu contoh kasus yang setiap tahun nyaris selalu terjadi, seperti yang diangkat oleh film Eid, ialah penentuan tanggal 1 Syawal, atau Hari Raya Idulfitri yang tak seragam dan tak bersamaan antar satu aliran dengan aliran lainnya.
Film Eid merupakan film fiksi pendek ber-genre Drama-Keluarga. Dalam Eid, dilema seorang anak terhadap keadaan perasaan ibunya dan kondisi keyakinan di tengah masyarakat menyerang seorang pegawai pelayanan publik, Ahmad. Konflik batin yang hadir pun terasa dekat dengan keseharian pekerja masa kini. Setiap penonton dengan keluarga yang memiliki kultur sosial-budaya berbeda, ditempatkan pada pilihan seorang Ahmad.
Melalui istrinya, Ahmad pun berdiri pada kebimbangan pilihan terhadap keinginan ibu mertuanya serta ibu kandungnya sekaligus. Eid, meski tidak secara spesifik membentuk sosok wanita paruh baya sebagai karakter utama, tetapi berhasil memosisikannya sebagai salah satu penggerak roda cerita, yakni konflik. Tentu dalam kasus Eid, konflik tersebut berupa konflik batin yang dialami langsung oleh Ahmad.
Konflik batin terkadang lebih mengena dalam benak penonton. Terlebih jika konflik batin tersebut dipengaruhi dari persoalan-persoalan yang lekat dengan rutinitas masyarakat kelas menengah atas. Benturan-benturan pertimbangan demi kebaikan bersama, alasan keadilan, dan nilai-nilai moral disajikan di atas meja makan bersama. Film tidak dapat dihindarkan dari pembicaraan mengenai nilai-nilai moral yang ada di dalamnya. Nilai moral tersebut kadang disajikan secara tersurat dalam percakapan tokoh atau dialog dan kadang tersirat dalam keseluruhan cerita atau tema film (Armaya, 2011:128).[6]
Jelas bukan hanya sosok Ahmad sebagai tokoh utama dalam film Eid yang dibuat bimbang, dilema luar biasa, bahkan tak pernah lepas memikirkan persoalannya setiap saat hingga memilih lebih banyak diam. Penonton pun (tanpa disadari oleh penonton itu sendiri) diposisikan begitu saja oleh film ini mengalami hal serupa. Bahkan tak jarang ada yang berandai-andai, membayangkan diri berada di tempat dan pilihan yang sama. Bagaimana harus bersikap. Pilihan apa yang harus diambil.
Eid, terlepas dari sejauh mana riset yang dilakukan serta bagaimana proses kreatif para pembuatnya, senantiasa merongrong cukup dalam kesadaran diri masing-masing penontonnya untuk bersikap atas kondisi serupa. Film ini mengubah contoh kasus yang tak asing di kultur negeri ini, menjadi konflik batin yang cukup membuat benak seorang anak akan selalu merasa bersalah, tak peduli akan menitik-beratkan pilihannya kepada siapapun, dengan alasan apapun.
Film memang tidak dapat memengaruhi masyarakat untuk mengubah sikap, tetapi film cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan masyarakat (Pranajaya, 1999:14).[7] Film pun bukan berasal dari kaum bangsawan, melainkan dari pasar-pasar di gang-gang belakang yang tidak mungkin didatangi oleh orang kalangan atas (Ismail, 1983:103, dikutip dalam Armaya, 2011:128).[8]
Dua film pertama sesi kedua dalam Pemutaran Karya Produksi Fiksi dan Dokumenter Praktika angkatan 2015 mengundang sejumlah perenungan, terhadap sisi lain contoh-contoh potongan kecil persoalan hidup bagian dari masyarakat negeri ini. Di antara gempuran kejayaan global yang tanpa pandang bulu menggerus kalangan orang-orang biasa, film Asih: Perempuan Jilid Dua dan Eid mengetuk pintu istana perfilman pendek Indonesia yang telah berdiri cukup megah. Bahkan meski kedua film tersebut datang dari dua jalur berbeda, fiksi dan dokumenter, terdapat sosok yang berdiri di antara keduanya dan menyatukan mereka dalam satu pengaruh serupa, yakni seorang wanita paruh baya.
Teks: Miftachul Arifin/ Film dan Televisi 2015
[1] Garin Nugroho dan Dyna Herlina S., Krisis dan Paradoks: Film Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas: PT Kompas Media Nusantara, 2015), Cet. 1, 46.
[2] Ibid., hlm. 6 & 45.
[3] Ibid., hlm. 274.
[4] Ibid., hlm. 317.
[5] Ibid., hlm. 281.
[6] Rosa Witha Armaya, – Aprinus Salam, Membaca Sinema Indonesia, (Sleman: ICE (Institute for Civil Empowerment, 2011), Cet. 1, 128.
[7] Adi Pranajaya, Film dan Masyarakat: Sebuah Pengantar, (Jakarta: BP SDM CITRA: Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, 1999), Cet. 2, 14.
[8] Rosa Witha Armaya, – Aprinus Salam, loc.cit.