Kucumbu Tubuh Indahku : Durja Topeng Perempuan Para Lengger Lanang

Setiap manusia menyimpan ingatan masa lalu yang terlukiskan dalam tubuhnya. Mereka hanya bisa mengalah dan menerima atas segala kejadian yang pernah dilalui. Sutradara Garin Nugroho mengangkat pengisahan tentang tubuh manusia tersebut melalui cerita hidup seorang penari lengger lanang dalam film berjudul Kucumbu Tubuh Indahku : Memories of My Body. Film yang menyabet duabelas penghargaan dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2019 ini hadir sebagai potret atas ketabuan pikir dalam konteks perkembangan tubuh manusia yang jamak dialami utamanya oleh masyarakat Indonesia.

Mengangkat kisah perjalanan hidup penari lengger asal Banyumas bernama Rianto, Kucumbu Tubuh Indahku mengajak masyarakat untuk menggali pemahaman baru dari sisi yang selama ini minim diacuhkan oleh sebagian besar pandangan umum. Mengarungi tubuh Rianto, dan segenap kisah yang terlukiskan diatas gurat kulitnya, film ini bermaksud mendewasakan masyarakat melalui permasalahan ekspresi gender yang acap dihadapi oleh para penari lengger lanang.

Poster Film Kucumbu Tubuh Indahku karya Garin Nugroho. Sumber : https://www.goldposter.com/327186/

Cerita dibuka dengan narasi Rianto mengenang masa kecilnya. Juno (Muhammad Khan) –karakter dalam film yang mengisahkan hidup Rianto- adalah remaja yang memiliki sejarah buruk akan perjalanan tumbuh kembang diri. Saat kecil, ia banyak mengalami kejadian yang membekas sebagai trauma dalam pikiran, juga tubuhnya. Sebut saja ia pernah menyaksikan secara langsung adegan pembunuhan yang dilakukan guru tarinya kepada seorang pemuda karena kedapatan mencumbu istri muda sang guru, dirundung teman-teman sekolahnya, hingga persoalan dirinya yang seakan selalu ditinggal pergi oleh orang-orang terkasih sejak ia masih kanak-kanak hingga dewasa. Serangkaian trauma itu justru membuat Juno pada akhirnya mengenal dirinya sendiri. Termasuk menemukan dunianya sebagai seorang penari.

Proses Juno memaknai tubuh sekaligus hidupnya tersebut berjalan secara tidak mudah. Ia terpaksa hidup mengembara, berpindah-pindah naungan lantaran banyaknya kekerasan yang harus ia lihat dan ikut rasakan. Resah menjadi nama untuk setiap tempat singgah. Disela-sela perjalanan hidupnya yang terasingkan tersebut, ia menemukan tari lengger lanang yang kemudian seolah menjadi satu-satunya jalan keluar bagi Juno dalam menghadapi tiap masalah. Lewat pemaknaan terhadap gerak tarian lengger lanang, ia terbantu memahami kompleksitas alam, dan pengalaman diri. Tak heran, dirinya menjadi seorang pemuda yang berpenampilan dan berkelakuan sarat akan nuansa feminin, seperti: tak banyak bicara, lemah lembut, memiliki tatapan sayu, berperilaku gemulai, dan perasaan simpati yang berlebih terhadap laki-laki, seolah dirinya adalah seorang perempuan.

Berjiwa feminin akhirnya menjadi jalan keluar bagi Juno untuk menjadi manusia yang justru berkembang dan lebih baik sebagai manusia yang hidup berporos pada perasaan. Melalui penjiwaanya sebagai lengger lanang, secara emosional Juno memiliki sikap baru dalam menyikapi segala permasalahan yang ada dihidupnya. Pada akhirnya, ia menemukan jalan untuk menghasilkan cinta dan kasih yang bisa ditularkan dalam bentuk sikap peduli, juga kemauan mengayomi secara tulus orang-orang yang bersedia menaunginya. Namun respon berbeda ditunjukkan oleh orang-orang lain yang hanya melihat Juno secara sekilas. Menjadi fenomena yang kontradiktif ketika keputusan prinsipil seseorang dalam menemukan jati diri, membuahkan hasil yang bisa dirasakan manfaatnya oleh orang terdekat justru membuatnya dijauhi dan selalu mendapat kekerasan intimidatif dari orang-orang luar yang belum mengenalnya.

Lengger lanang sendiri merupakan tarian lintas gender yang banyak dipentaskan oleh laki-laki di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Para penari yag mementaskan tarian ini haruslah mengubah penampilan diri menjadi perempuan secara tampilan fisik, maupun gerak-gerik ekspresinya. Ekspresi gender merupakan dimensi yang dituntut dan dibutuhkan dalam melakukan bentuk warisan budaya yang telah ada sejak abad delapanbelas ini. Tarian lengger lanang mengharuskan pelakunya untuk memiliki jati diri maskulin dan feminin secara bersamaan, untuk kemudian meleburkannya didalam satu tubuh, dan memfungsikannya sebagai hiburan bagi orang lain.

Penampilan Rianto dan para penari lengger lanang lain sebagai seorang perempuan saat pentas, dirasa memiliki nilai estetika yang lebih besar. Begitupula makna fungsional perempuan dalam bentuk produk seni visual lain. Melihat fakta sejarah, lukisan perempuan telah menjadi tema dominan dari para pelukis laki-laki dunia barat bahkan sebelum abad delapanbelas. Hal tersebut menyiratkan bahwa sejak zaman dulu, estetika tubuh perempuan memiliki nilai lebih tersendiri sebagai suguhan produk seni. Pun menguatkan fakta bahwa perempuan lebih sering menjadi objek seni daripada subjek seni. Lebih-lebih lagi didalam banyak turunan budaya kedaerahan Indonesia yang kerap memposisikan perempuan sebagai objek pengundang ketertarikan audience seperti lengger lanang, dimana subjek yang diangkat adalah seorang laki-laki yang justru memerankan seorang perempuan, lengkap dengan segala pernak-pernik keperempuanan yang menempel pada tubuhnya.

Still photo salah satu scene dalam film Kucumbu Tubuh Indahku. Sumber : https://thedisplay.net/wp-content/uploads/2018/12/1-1-1280×720.jpg

Isu tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Namun faktanya, banyak pihak yang kurang objektif menilai kesenian lengger lanang mapupun para pelakunya sebagai sebuah penyimpangan sosial, tanpa melihat bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kekayaan budaya yang harus dilestarikan, dan tidak perlu dihakimi secara berlebihan. Bahwa kesenian tersebut tidak menuntut penghakiman, tetapi lebih kepada pemahaman. Walakin, memang tak sembarang orang yang bisa benar-benar menghayati nilai sebuah karya seni. Padahal, menjadi seorang lengger lanang merupakan proses berat yang menuntut apresiasi tinggi mengingat butuh jalan kontemplatif panjang untuk mampu mengendalikan diri, dan menemukan batasan diri dalam menghadapi isu transgender yang disematkan terhadap kesenian lengger lanang.

Menyajikan isu menarik, namun tetap memperhatikan estetika karya. Film Kucumbu Tubuh Indahku adalah film dengan grade kualitas baik-sangat baik, dari segi narasi maupun visual, sehingga mampu melahirkan penghargaan dari dalam maupun luar negeri, terbukti dengan prestasinya atas dominasi dalam ajang FFI 2019. Tak hanya itu, film ini telah berhasil memikat penonton dan juri-juri festival film dari pelbagai belahan dunia lain, dengan memenangkan banyak penghargaan bergengsi, antara lain : Film Terbaik Festival des 3 Continen, Nantes, Perancis; Bisato D’oro Award Venice Independent Film Critic di Italia tahun 2018, & Cultural Diversity Award Under The Patronage of UNESCO Asia Pacific Screen Award di Australia pada tahun 2018.

Terlepas dari isu Lesbian-Gay-Biseksual-Transgender/Transeksual, yang menerpa lengger lanang pada umumnya, dan sekaligus film Kucumbu Tubuh Indahku pada khususnya, nukilan-nukilan peristiwa yang terjadi pada Juno merupakan plot yang dirancang Garin untuk merangsang pemahaman dan simpati orang kepada tubuh dan dirinya sendiri. Lika-liku dan konflik soal tubuh, dalam konteks film Kucumbu Tubuh Indahku, pada dasarnya berujung pada satu haluan mengenai prinsip mendasar dalam hidup, yakni hidup berdaulat.

Fungsi film sebagai alat pendorong pertumbuhan pola pikir dan budaya, seharusnya dapat diterima sebagai sumbangsih besar dunia seni visual terhadap spirit keberagaman budaya Indonesia. Sayangnya, ihwal tersebut masih belum bisa diterima dan dipahami sebagai sebuah persembahan yang membutuhkan perhatian dan pemaknaan secara mendalam oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dengan adanya beberapa aksi penolakan didaerah-daerah tertentu. Seharusnya, menonton film Kucumbu Tubuh Indahku mampu memberi perspektif baru untuk lebih memahami serta merayakan perbedaan, juga keragaman yang dimiliki setiap orang dimuka bumi. Bukan malah sekonyong-konyong menuntut keseragaman berdasarkan kemauan pribadi atau alih-alih suara mayoritas, karena sejatinya setiap individu berhak berdaulat atas diri mereka sendiri, dan tubuh mereka sendiri.

Teks : Id’dha Parta Driasmara / Film dan Televisi 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.