Panggilan Jiwa Laksmi Siteresmi

Laksmi Siteresmi, wanita kelahiran Yogyakarta ini meyempatkan waktunya untuk bercerita dengan tim Pressisi pada hari Senin (30/04/2018) di kediamannya (Sambilan Organizer & Art Studio). Terlahir dari Ayah dan Ibu seorang pengajar, bukan berarti Laksmi Siteresmi tak mempunyai bakat melukis.

MELUKIS DAN PENDIDIKAN

Bakat melukisnya terlihat saat ia masih kecil. Pada saat duduk di kelas dua Sekolah Dasar (SD) ia diminta untuk menggambar di depan kelas, karena teman-temannya tidak ada yang bisa menggambar hewan.  Pada saat itu Laksmi sudah mahir menggambar hewan seperti rusa. Sayangnya, ia belum diijinkan oleh orang tuanya untuk mengikuti perlombaan.

Menginjak Sekolah Menengah Pertama (SMP) ia mulai ikut serta dalam perlombaan.  Lomba pertama yang ia ikuti berawal dari mengantarkan teman ke sebuah perlombaan di Ambarukmo, lalu ia melihat pihak perlombaan membuka pendaftaran ditempat. Dengan spontanitas ia mendaftarkan dirinya dan membeli pastels di penjual yang sedang berjualan di sekitar itu. Siapa sangka, spontanitasnya membawa hasil yang manis dan mendapatkan Juara Favorit.

Perlombaan yang tak sengaja ia ikuti membuahkan kepercayaan orang tuanya bahwa ia memiliki bakat berkesenian dan diikutsertakan dalam perlombaan-perlombaan. Dalam perlombaan yang ia ikuti, ia tidak pernah membawa tangan kosong, Ia selalu memenangkan perlombaan yang ia ikuti, entah itu juara umum, favorit ataupun harapan.

Saat akan menginjak dunia perkuliahan, ia disarankan oleh orang tuanya untuk mengambil program studi kriya kayu di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1992.  Atas saran orang tuanya ia menjalani studinya selama setahun, karena merasa tidak cocok dan memutuskan mendaftarkan diri di seni murni pada tahun berikutnya.

Setelah menjadi mahasiswa seni murni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 1993, ia merasa senang karena apa yang ia inginkan akhirnya terwujud. Tetapi pada awal menjadi mahasiswa seni murni, ia kaget bahwa ia tak hanya melukis tetapi diharuskan bisa seni grafis, nyukil, nyablon. Tak membuat ia menyerah dan patah semangat, ia justru semangat untuk mempelajarinya bahkan ia mengambil mata kuliah lintas jurusan seperti kriya kayu, logam dan batik.

Tak hanya senang kuliah, ia juga harus merasakan mirisnya di dunia perkuliahan. Bagaimana tidak harus bekerja untuk membiayai kebutuhan hidup dan kuliahnya. Ia bekerja sebagai buruh lukis di sebuah toko gerabah daerah kasongan. Karena pekerjaannya cepat selesai dan hasilnya memuaskan, ia mendapat kepercayaan dari pemilik toko. Pekerjaan yang seharusnya dikerjakan di tempat kerja dapat dikerjakan di rumah, karena pemilik toko telah percaya dan tahu bahwa ia juga harus mengerjakan tugas kuliahnya.

Tak cukup uang untuk membeli cat, ia menggunakan sisa-sisa cat yang telah digunakan mengecat gerabah. Tak hanya itu saja ia juga masih mencampur dengan cat yang lain. Bahkan ia dan teman-temannya juga harus membuat kanvas sendiri, yang terbuat dari karung gandum bekas tepung. Sampai semester 7 ia baru mampu membeli pastels sendiriSampai akhirnya, pada tahun 1997 Laksmi Siteresmi berhasil menyelesaikan kuliahnya dan menyandang gelar Sarjana Seni (S.Sn.).

Laksmi Siteresmi seorang seniman Yogyakarta yang sedang berpose bersama reporter LPM Pressisi di kediamannya (Sambilan Organizer & Art Studio) .
Foto: Dina Asviana

PELUKIS

Dalam pembuatan karyanya ia tak pernah mengira-ngira berapa lukisan yang harus ia hasilkan dan tidak mengikuti selera pasar.  Ia mengatakn banyak seniman yang mengikuti selera pasar. Misalnya saja selera pasar banyak yang berminat dengan lukisan realis, maka si seniman pasar akan melukis lukisan realis. Menurutnya, seniman yang mengikuti selera pasar itu seperti banci. Tidak mempunyai kejelasan dalam pembuatan lukisannya, bisa dikatakan fine art tapi bisa juga dikatakan souvenir. Mengapa dikatakn souvenir? Karena jiwa si pembuat ingin memenuhi selera pasar yang sedang terjadi.

Padahal penting sekali, bahwa setiap karya yang dihasilkan harus mempunyai ciri khas. Karena hal ini akan menjadi identitas seorang seniman dan karyanya. Sebuah karya yang tak mempunyai ciri khas akan dinilai seperti souvenir. Untuk karyanya sendiri ia mengatakan masih sama, bergaya simbolis dengan cara berfikir surealistik.

Dengan banyaknya karya yang dihasilkan oleh seniman-seniman, saat ia ditanya lukisan yang baik itu seperti apa? Lukisan yang seni rupa itu seperti apa? Lalu ia menjawab bahwa semua karya itu bagus, relatif dan tidak ada yang jelek. Tergantung cara kita melihat,mendalami dan menikmati karya tersebut, karena menilai seni itu tidak ada patokan. Secara pribadi karya yang telah ia hasilkan dianggap baik jika konsep jelas dan seimbang dengan visualnya. Terkadang konsep yang baik tetapi tidak seimbang dengan visualnya dan sebaliknya maka tidak bisa dikatakan baik.

Menghasilkan karya yang baik dengan konsep dan visual yang seimbang, melukis dengan tidak mengikuti selera pasar dan memiliki karya yang bergaya simbolis dapat menggambarkan seorang Laksmi Siteresmi yang mencintai dunia lukis. Pada saat ia ditanya, mengapa mengambil resiko menjadi seorang pelukis? Lalu ia menjawab “Itu kan panggilan jiwa, sampai saya diusir oleh orang tua istilahnya hanya dikasih uang sampai semester satu saja.”

PAMERAN

Pada waktu duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia menjadi perwakilan sekolahnya dalam perlombaan-perlombaan melukis dan karyanya dipamerkan di acara Pemerintah Provinsi Jakarta dan Yogyakarta yang didanai oleh UNESCO. Karyanya dipamerkan bersama karya pelukis muda yang berasal dari negara lain seperti Amerika, India dan lain sebagainya. Itu adalah pameran pertamanya dalam program pemerintah provinsi.

Menjelang akhir masa perkuliahan, ia harus menyelesaikan skripsinya. Selain melakukan penelitian, ia juga berencana untuk mengadakan pameran tunggal sehingga ia harus menyempatkan diri untuk melukis. Setelah menyelesaikan skripsi dan menyandang gelar sarjana seni, ia mengadakan pameran tunggal pertamanya dengan menampilkan lima belas karya terbaiknya.

Pameran demi pameran ia adakan, sampai akhirnya ia berdiri di Galeri Nasional Ruang A pada tujuh tahun yang lalu (2011). Menurutnya Galeri Nasional adalah puncak karirnya perupa Indonesia dan uang A Galeri Nasional diperuntukkan lukisan dengan kualitas atas.

Terhitung setelah wisuda sampai sekarang, ia telah mengadakan kurang lebih lima belas kali pameran. Untuk harga lukisannya ia memasang harga standard, sekitar 45 juta rupiah dengan kanvas berukuran 100 x 20 cm.

AKTIVITAS

Sekarang ia tidak banyak menghabiskan waktu untuk melukis. Dalam kurun waktu setahun ia menghasilkan dua sampai tiga karya atau tidak sama sekali. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di luar untuk bekerja di sebuah perusahaan atau program pemerintah.

Ia mengatakan bahwa sekarang ini lebih aktif mengurus event-event pemerintah yang masih berkaitan dengan seni dan budaya. Baru beberapa bulan kemarin, ia bekerja sama dengan pemerintah kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Dengan mengemas situs pariwisata menjadi festival.

            Selain bekerja sama dengan program pemerintah, ia juga bekerja pada perusahaan yang bergerak di bidang art design dengan sistem kontrak. Pernah bekerja di Pullman Central Park Jakarta, sebuah hotel bintang lima.

Tidak hanya menghabiskan waktu untuk bekerja saja, ia juga menyempatkan waktunya untuk mendampingi komunitas-komunitas anak muda yang membuat sebuah project. Beberapa minggu yang lalu, ia telah membantu komunitas Kanda Ayam untuk mengadakan pameran. Membantu dalam arti, tidak hanya dalam penyelenggaraan acaranya saja tetapi persiapan karyanya pun juga harus dipersiapkan. Tidak ingin para perupa muda menampilkan karya yang biasa dan tidak ada kemajuan. Ia mengatakan bahwa anak muda jaman sekarang lebih banyak membuat karya tentang asmara, mereka seharusnya lebih peka terhadap orang disekelilingnya. Coba saja memerhatikan kebiasaan orang-orang, seperti orang mengendaraimotor, orang berjalan kaki dan lain sebagainya.

HARAPAN

Apa harapan untuk calon seniman seperti Anda?

“Kalau aku pesen ya.. Harus pandai-pandai mencari pengalaman dan ilmu di luar, jangan di kampus aja, terutama dibidang seni. Membuka diri dengan senior, menerima kritik dan saran, bergaul dengan seniman, jangan dosen aja karena dosen cuma teoristik.” jawab Laksmi Siteresmi.

[Dina Asviana/Desain Produk 2017]
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.