
Film sebagai media representasi budaya memainkan peran penting dalam membentuk dan mengarahkan pandangan masyarakat. Turner dalam Film as Social Practice menekankan bahwa film tidak bisa dilepaskan dari praktik representasi yang memberikan gambaran makna budaya. Ini terlihat jelas dalam film-film bergenre horor di Indonesia yang seringkali memanfaatkan elemen budaya lokal sebagai bagian dari narasi menakutkan. Salah satu contohnya adalah representasi tari Gandrung dalam film KKN di Desa Penari (2022) dan Badarawuhi di Desa Penari (2024).
Film horor Indonesia sering kali menghadirkan budaya dengan cara yang menakutkan, menciptakan kesan bahwa elemen budaya tradisional adalah sesuatu yang harus diwaspadai atau bahkan ditakuti. Dalam konteks ini, hororisasi budaya menjadi alat yang efektif untuk menakuti penonton dan menciptakan atmosfer seram. Namun, pendekatan ini membawa dampak negatif terhadap persepsi masyarakat tentang budaya lokal.
Misalnya, lagu Boneka Abdi dalam Danur: I Can See Ghost(2017) diinterpretasikan sebagai lagu pemanggil setan, padahal sejatinya adalah lagu anak-anak Sunda yang menyenangkan. Begitu pula dalam Sewu Dino (2023), tembang Jawa digunakan sebagai mantra spiritual dan penanggalan Jawa dijadikan sebagai penentuan sebuah hal yang membahayakan nyawa, hal itu jelas mengaburkan makna aslinya.
DalamKKN di Desa Penari dan Badarawuhi di Desa Penari, hororisasi budaya kembali muncul melalui representasi tari Gandrung Banyuwangi. Cerita yang diklaim sebagai kisah nyata oleh SimpleMan dan diangkat ke layar lebar oleh MD Pictures ini, menampilkan Badarawuhi, seorang penari mistis yang digambarkan sebagai sosok menakutkan dan sensual. Melalui tarian ini, film menciptakan narasi bahwa tarian tradisional bisa menjadi sesuatu yang berbahaya dan menakutkan, alih-alih menekankan keindahan dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Apropriasi Tarian Badarawuhi
Pada seminar Seni dan Diplomasi Budaya, Budi Irawanto dan Garin Nugroho memaparkan bahwa seni dapat menjadi sebuah media yang menarik guna menguatkan dan mengenalkan identitas suatu bangsa. Budi Irawanto juga menjelaskan bahwa sebuah diplomasi budaya perlu didasarkan pada prinsip saling menghargai, menjungjung kesetaraan dan menghormati keragaman. Lebih lanjut, Garin Nugroho juga memaparkan bahwa profesionalisme pengkarya/seniman sangat berpengaruh terhadap sebuah representasi budaya. Hal yang disampaikan oleh Budi Irawanto dan Garin Nugroho jelas berbanding terbalik dengan praktik yang dilakukan oleh beberapa sineas horor di Indonesia.
Perolehan angka 10 juta penonton KKN di Desa Penari dan 4 juta penonton Badarawuhi di Desa Penari, tentunya berindikasi pada meningkatnya industri perfilman di Indonesia dan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap film Indonesia. Namun, angka yang besar ini juga berarti akan besar pula pemahaman masyarakat terhadap kesalahan interpretasi mereka terhadap objek budaya yang ditampilkan dalam kedua film tersebut.
Awi Suryadi menggarap KKN di Desa Penari yang mengisahkan Nur (Tissa Biani) bersama teman-temannya yang pergi Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa terpencil yang dihantui teror siluman ular penari bernama Badarawuhi (Sarah Aulia). Sementara Badarawuhi di Desa Penari yang diarahkan oleh Kimo Stamboel menjadi prekuel yang menjelaskan alasan Badarawuhi menghantui desa tersebut.
Sejak pertama kali viral di X (Twitter) melalui utas yang ditulis oleh SimpleMan, cerita ini telah menimbulkan banyak spekulasi tentang jenis tarian dan asal usul daerahnya. Begitupun dengan alihwahana yang dilakukan oleh Awi Suryadi. Berbeda dengan Kamila Andini yang berusaha kembali mengangkat berbagai kesenian Sunda dengan tepat pada film Before, Now, and Then (2022), atau Hanung Bramantyo yang mengenalkan dan membangun citra positif folklore lokal dalam Satria Dewa: Gatotkaca (2022). Bersama timnya, Awi Suryadi tetap memilih daerah dan objek budaya yang sama dengan utas di X dengan mencoba memberikan gimmick rahasia pada film KKN di Desa Penari dengan hanya menyertakan inisial kota tanpa menyebutkan dengan jelas nama kota tersebut.
Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan di dalam cerita, petunjuk dan visualisasi yang diberikan mengarahkan pembaca dan penonton untuk menyimpulkan bahwa kisah tersebut berasal dari Jawa Timur dan tarian yang divisualkan adalah tari Gandrung Banyuwangi. Kostum dan gerakan tari yang digunakan oleh karakter Badarawuhi dan para dawuhnya jelas mengindikasikan bahwa ini adalah tari Gandrung. Namun, kedua film tersebut tidak pernah memberikan informasi yang jelas tentang asal usul tarian ini atau makna budaya yang terkandung di dalamnya.
Dalam KKN di Desa Penari, tari Gandrung ditampilkan dengan kehadiran karakter Badarawuhi dengan suasana yang sensual, serta penggambaran tari yang menciptakan suasana mistis dan menakutkan. Dalam Badarawuhi di Desa Penari, tarian ini ditampilkan secara lebih jelas dengan penambahan banyaknya sosok penari dan gerak dasar tari yang dipentaskan. Akibatnya, penonton yang tidak familiar dengan tari Gandrung mungkin tidak menyadari bahwa tarian ini adalah bagian penting dari warisan budaya Banyuwangi. Gandrung adalah tarian tradisional yang penuh dengan makna sejarah dan budaya, yang pada awalnya digunakan sebagai hiburan bagi para pejuang. Bukan hiburan bagi para demit sebagai mana yang digambarkan dalam kedua film yang ditulis oleh Lele Laila ini.
Hororisasi Budaya adalah sebuah Budaya
Nulis Jawa (akun pengiat sastra Jawa) dalam unggahannya yang bertajuk Budaya Jawa Bukan Melulu Horor, menekankan bahwa film menjadi salah satu media yang selalu memframing budaya Jawa sebagai sesuatu yang penuh dengan kesan supranatural, ghaib, horor, dan setan, yang semuanya itu tidak sesuai dengan filosofi aslinya yang adiluhung. Nulis Jawa juga menyayangkan adanya representasi mistis terhadap objek budaya Jawa seperti gamelan, mantra, kidung, sesaji, kemenyan, petilasan, aksara, yang seharusnya kita lestarikan bersama.
Dalam film horor, apropriasi budaya sering kali terjadi ketika elemen-elemen budaya lokal diambil dan digunakan tanpa pemahaman atau penghormatan yang cukup terhadap makna aslinya. Ini sering kali dilakukan untuk menambah eksotisme atau menakuti penonton, tetapi tanpa memberikan konteks yang memadai atau penjelasan yang akurat. Hororisasi tari Gandrung dalam film-film ini adalah contoh yang jelas dari bagaimana budaya lokal bisa diapropriasi dan disalahartikan untuk tujuan komersial. Dalam konteks ini, tari Gandrung bukan lagi sekedar elemen estetika atau hiburan, tetapi dijadikan alat untuk menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Film memiliki kekuatan besar untuk membentuk persepsi dan pandangan masyarakat. Ketika elemen budaya digunakan dengan cara yang tidak akurat atau merusak, ini dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap cara budaya tersebut dipandang dan diperlakukan. Dalam kasus tari Gandrung, hororisasi dan apropriasi budaya dalam KKN di Desa Penari dan Badarawuhi di Desa Penari telah mengaburkan makna asli dari tarian tersebut, menciptakan stigma negatif yang dapat merusak warisan budaya Banyuwangi.
MD Pictures melalui Desa Penari Universe menunjukan bahwa masih ada sineas yang melanggengkan hororisasi budaya khususnya pada genre horor, sekaligus membuktikan preferensi mayoritas penonton film di Indonesia yang menyukai objek budaya Jawa sebagai sesuatu yang dapat ditakuti.
Teks oleh: Mochammed Fadliawan / PRESSISI 10