Menonton Adegan Sinetron pada Film Tribute Rumah Masa Depan

Menikah artinya menyatukan dua orang individu bahkan beserta keluarganya agar dapat hidup bersama. Dalam proses penyatuan tersebut, tidak jarang ada ketidakcocokan yang menyebabkan ketidakrukunan antar individu. Kerap ditemui kisah tentang ‘perang dingin’ antara mertua dan menantu yang tidak jelas alasannya apa. Menurut Santi (2015), sebanyak 37% hubungan menantu dan mertua perempuan tidak terbuka dan kurang harmonis dikarenakan masing-masing memiliki sikap egois yang tinggi. Hal itu lah yang kemudian diangkat oleh Danial Rifki dalam film Rumah Masa Depan(2023).

Ditengah banyaknya sineas yang melakukan eksplorasi bentuk naratif dan sinematik pada setiap karyanya, Danial melalui Rumah Masa Depan kembali menghadirkan kisah drama keluarga yang sederhana dengan formula filmyang sudah jarang dibuat.

Diadaptasi dari sebuah drama serial televisi dengan judul yang sama, Danial kembali mengisahkan tentang keluarga Sukri (Fedi Nuril) dan Surti (Laura Basuki), serta dua orang anaknya yaituBayu (Bima Azriel) dan Gerhana (Ciara Brosnan) yang pergi ke rumah Nenek karena ayah Sukri (Kakek), Pak Musa (Cok Simbara) meninggal dunia. Hubungan Surti dan Ibu Mertua Sukri (Widyawati) digambarkan kurang baik sehingga suasanya berjalan dengan canggung.

PENDEKATAN KLISE DANPREDICTABLE

Setelah banyak membuat film bergenre drama, Danial sudah seharusnya menguasai atau bahkan memiliki gaya dan preferensinya sendiri dalam merekam dan menciptakan sebuah adegan. Pada filmnya kali ini, Danial sebagai sutradara sekaligus penulis justru terkesan kebingungan dengan bentuk film yang ingin ia berikan.

blank
Mobil Sukri mogok – Sumber: YouTube/Max Picture

Tentu kita telah banyak menonton kisah tentang sebuah keluarga yang hendak pergi berlibur tapi malah terkena hambatan. Kita juga sudah bosan dengan film tentang mobil butut yang harus dikendarai ketika perjalanan dan berujung mogok. Itu juga yang dihadirkan Danial dalam filmnya kali ini. Ia kembali memframing sebuah kegiatan liburan ke sebuah desa menggunakan mobil usang dan mudah mogok. Ini kembali mengingatkan kita akan film sebelumnya yang pernah ia buat, yakni Father and Son(2022). Pada Father and Son,Danial mengisahkan perjalanan seorang anak dan arwah mendiang ayahnya di dalam mobil milik ayahnya yang telah usang.

Pemilihan adegan mobil usang yang mudah mogok juga mengingatkan kita pada sebuah film pendek yang penggarapannya bahkan lebih bagus, adalah Super Kipli (2021),sebuah film pendek arahan Gin Teguh yang mengisahkan driver mobil usang yang bekerja keras. Gin teguh mampu memberikan rintangan yang tidak mainstream disertai dengan alasan dan motivasi yang kuat dalam pemilihan setiap adegannya.

Danial juga terkesan cukup kesulitan untuk menyampaikan stori dalam filmnya melalui visual, sehingga ia harus menyajikannya dalam bentuk narasi dan dialog yang sangat panjang. Kita dapat menemukan beberapa adegan berisi narasi dan dialog yang menceritakan kausalias serta backstory dari kejadian-kejadian yang sedang terjadi di dalam film. Mungkin metode ini akan terasa wajar bila ditemui pada serial televisi, namun untuk treatmentsebuah film, hal ini dirasa kurang tepat penggunaannya.

Kejadian-kejadian yang Danial hadirkan, mampu membuat penonton merasa sedang benar-benar menonton film, tidak ada adegan yang dibangun dengan sangat realis. Kita diberikan sosok mertua problematik yang menyalami menantu saja tidak mau, padahal hari itu adalah tepat dimana hari berkabung–sebuah kejadian yang mungkin hanya terjadi di film saja. Kemudian dapat kita tebak, pada penghujung film, Ibu Mertua itu menjadi luluh karena usaha pendekatan yang dilakukan oleh Surti dan adanya seorang cucu.

PLOT ARMOT DAN ANAK-ANAK AJAIB

Diangkat dari sebuah serial yang memiliki banyak episode, membuat Danial kesulitan memilih dan menjahit konflik yang penting ke dalam sebuah skenario film panjang yang utuh. Pada Rumah Masa Depan,Danial terlalu memasukan banyak sub plot yang sangat terasa dipaksa untuk ditambahkan. Adegan ketika Ibu Mertua menjelaskan alasannya kenapa membenci Surti juga terasa kurang tepat dan tiba-tiba. Dalam adegan tersebut, Ibu Mertua akhirnya berani jujur karena dia sedang berada dalam posisi yang lemah. Padahal bisa saja Danial tidak membuat karakter Ibu Mertua untuk bercerita dan membiarkan karakter Surti untuk terus berusaha mendekati mertuanya

blank
Peralatan IT Sangaji – Sumber: YouTube/Max Picture

Karakterisasi anak-anak di film ini layaknya tokoh FTV dan/atau kartun. Anak-anak di Rumah Masa Depanmampu mencari solusi dan memecahkan masalah melebihi kemampuan dari orang dewasa. Selain itu, motivasi adegan live di media sosial yang dilakukan oleh Gerhana juga tidak jelas, bahkan ia mendapat 1000 penonton lebih, namun tidak ada bahasan lanjutan mengenai media sosial Gerhana lagi setelah itu. Belum lagi karakter Sangaji (Zayyan Sakha) yang pandai sekali dengan pemanfaatan teknologi yang bertolak belakang dengan fasilitas teknologi yang ada di kantor polisi.

Sosok penjahat dan polisi yang digambarkan pada Rumah Masa Depanakan mengingatkan kita kepada film-film komedi lawas. Sebut saja Home Alone(1990) dan Warkop DKI(1980an). Kita akan melihat karakter penjahat dan polisi yang tidak mampu bekerja dengan baik. Mereka cenderung ‘ngikut-ngikut saja’ dan mudah dikalahkan. Treatment seperti ini digunakan pula pada salah-satu film Indonesia teranyar garapan Anggi Umbara, The Watcher(2021). The Watchermenghadirkan sekelompok siswa yang menang bertarung dengan komplotan penculik yang mudah dikalahkan.

KEMBALI MENONTON ARTISTIK SINETRON

Tidak ada yang spesial dalam treatmentaudio visual film karya Danial kali ini. Penambahan musik latar dipenuhi dengan alunan musik pengiring dan instrumen musik Sunda. Sementara tata kamera, masih tidak melepaskan treatment seperti pada sinetron. Yakni dengan memberikan pergerakan-pergerakan kamera yang cukup lama, seperti panning yang dikombinasikan dengan zooming yang menyorot pada establishlatar tempat.Namun, Danial terlihat berusaha menunjukan emosi yang berbeda pada karakter Surti dan Ibu Mertua melalui pengambilan gambarnya.

Mengambil latar di tanah Sunda yang dibuktikan dengan pemilihan nama tempat yang mengandung suku kata ‘EU’ yakni tepatnya di Cibeureum, membuat aktor yang dipilih dalam  film ini memerlukan kemampuan untuk berbahasa Sunda. Namun, alih-alih memberikan dialog yang berbahasa Sunda secara penuh, Danial lebih memilih menambahkan partikel kata ‘teh’ dan/atau ‘atuh’ dalam setiap kalimat yang diucapkan karakter. Padahal bahasa Sunda lebih dari itu. Entah proses reading yang kurang panjang dan/atau karena tidak adanya dialek coach, menjadikan kalimat yang diucapkan oleh karakter terdengar kaku dan penggunaannya tidak pas. Bahkan pengucapan kata “Cibeureum” saja masih kurang tepat.

Menjadi sebuah film adaptasi dari sinetron yang tayang pada tahun 80an, membuat penonton berekspektasi terkait artistik yang akan digambarkan pada film ini. Alih-alih kembali membangun suasana tahun 80an, Danial justru memberikan gambaran setting waktu yang tidak jelas. Bisnis dan teknologi yang digunakan oleh keluarga Sukri memberikan informasi bahwa mereka sedang hidup di masa kini. Sementara itu, penggunaan mesin tik di kantor polisi menjadi pembiasan informasi pada film ini. Apakah mesin tersebut memberikan informasi terkait latar waktu? Ataukah berkaitan dengan sosial ekonomi di desa tersebut? Jika berkaitan dengan sosial ekonomi di daerah tersebut, maka bertolak belakang rasanya ketika anak sekecil Sangaji saja memiliki peralatan IT yang begitu lengkap dan mampu menfasilitasi kebutuhan desa, sementara kantor polisi tidak memilikinya.

Informasi terkait latar waktu pada film ini semakin membingungkan tatkala plat nomor (tanggal pergantian) pada motor karakternya berbeda-beda, ada yang 20, 21, juga 25.

PANDANGAN STEREOTIP

Ketika sineas lain mulai menggali bentuk dan gaya yang baru untuk mengeksplorasi karya mereka, Danial lagi-lagi memframing sosok anak yang tidak suka makan sayur yang digambarkan pada karakter Bayu dan Gerhana. Selain itu, Danial kembali memframing sosok perempuan yang komikal dan stereotipikal. Berbeda dengan film-film teranyar yang digarap oleh Kamila Andini yang selalu vokal dengan isu-isu feminisme, atau Wregas Bhanuteja yang kerap menyoroti fenomena sosial yang ada, serta Hanung Bramantyo yang masih senang mengenalkan budaya dan kesenian Indonesia.

Tanpa motivasi yang kuat, Danial memberikan penggambaran mertua yang galak kepada cucu, menggambarkan karakter cucu yang rewel, juga menghadirkan kelompok ibu-ibu rempong. Penggambaran seperti ini sempat menjadi sebuah diskusi yang dilakukan oleh kelompok feminis terhadap film pendek Tilik (2018)yang dianggap terlalu mengobjektivitasi perempuan. Danial juga kembali menghadirkan kisah romantisasi anak dari seorang petani yang berhasil menjadi sarjana. Padahal hal tersebut sudah menjadi suatu hal lumrah yang sudah tidak lagi perlu diglorifikasi.

Sebagai sebuah film drama keluarga yang diadaptasi dari serial televisi, Rumah Masa Depantidak akan lepas dari film terdahulunya yakni Keluarga Cemara (2019)karya Yandi Laurens yang sama-sama diadaptasi dari sebuah serial televisi. Memiliki cerita yang serupa, tentang kebangkrutan bisnis dan mudik ke desa. Tetapi, Yandi Laurens mampu mengadaptasi dan menyortir konflik yang dihadirkan ke dalam film Keluarga Cemara. Sementara Danial, lebih terkesan ingin memasukan sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan kausalitas ceritanya.

Melalui Rumah Masa Depan,Danial banyak menghadirkan adegan dan aksi yang bisa dibilang tributeuntuk karya-karya film terdahulu.

Rumah Masa Depan | 2023 | Durasi:109 menit | Sutradara & Penulis:Danial Rifki| Produksi:Max Pictures | Negara:Indonesia | Pemeran:Fedi Nuril, Laura Basuki, Widyawati, Bima Azriel, Kiara Bosnan

Teks oleh: Mochammed Fadliawan / PRESSISI 10

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.