NGAPAIN DIEM KALO BISA NGADU? (PART 2)

Kamis, 28/03/2024; Kementerian Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan BEM ISI Yogyakarta mengadakan forum diskusi bagi para mahasiswa mengenai kenyamanan, keamanan dan kedamaian dari maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, dengan tajuk diskusi “Ngapain Diem Kalo Bisa Ngadu (Part 2)?”

Mengapa Part 2? Karena forum diskusi ini adalah kelanjutan dari diskusi sebelumnya yang pernah diadakan di Fakultas Seni Pertunjukan tepatnya di Pendopo Jurusan Tari. “Tujuan adanya forum diskusi part 2 ini guna membuka kembali ruang diskusi kepada mahasiswa dan membuka kesadaran bagi seluruh warga kampus,  tentang pentingnya melaporkan tindak kekerasan seksual di lingkungan kampus ISI Yogyakarta pada pihak yang berwenang,” ucap Putri Adelia selaku moderator dalam diskusi.

Terdapat beberapa narasumber yang diundang khusus untuk menjadi pembicara pada diskusi ini. Yang pertama ada Ibu Devi Riana Sari, M.Psi., Psikolog Klinis UPT PPA Kota Yogyakarta, lalu yang kedua ada Ibu Endang Mulyaningsih, SIP., M.Hum selaku Satgas PPKS ISI Yogyakarta dari kalangan dosen, dan yang terakhir ada Viona Marselia dari Satgas PPKS ISI Yogyakarta kalangan mahasiswa. Forum diskusi ini juga disiarkan secara live pada akun Instagram milik Putri Adelia.

Kekerasan seksual di lingkungan kampus adalah tindakan menghina, melecehkan, dan menyerang tubuh atau anggota reproduksi seseorang. Karena ketimpangan relasi kuasa atau gender yang berakibat penderitaan psikis atau fisik, termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilangnya kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi yang akan dilakukan secara optimal. Ibu Devi datang membawakan sebuah pembahasan yang sangat menarik dan tentunya sangat dibutuhkan oleh para mahasiswa untuk menambah pengetahuan atau mengantisipasi, karena siapapun bisa menjadi korban atau pun pelaku kekerasan seksual itu sendiri.  Tajuk yang dibahas pada diskusi kali ini yaitu “Pemulihan Korban Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus”.

“Kalau saya tadi bicara dari data, ada 11 korban pada tahun 2018 sampai 2024 yang kami dampingi dari lingkungan kampus dengan persentase 80%. Pelakunya adalah dosen, berarti 20% di antaranya adalah sesama mahasiswa,” ucap beliau. Berbicara terkait perlindungan korban, ada beberapa hak yang dimiliki oleh korban di masa pemulihannya.  Hak-hak korban itu sendiri seperti Hak atas Informasi, Pendampingan Psikologis, Layanan Hukum, dan Layanan Kesehatan. Bahkan korban berhak mendapatkan rumah singgah di masa pemulihannya dalam melewati beberapa proses di atas. Fungsi rumah singgah tidak lain untuk memberikan rasa aman kepada korban di masa pemulihannya. 

Agar korban dapat mengikuti pendidikan dan melaksanakan pekerjaan secara optimal, pemimpin perguruan tinggi harus memastikan korban mendapatkan pemulihan kondisi psikologis dan fisik sesuai dengan persetujuan korban. Hal ini dapat ditempuh dalam bentuk tindakan medis, terapi fisik, terapi psikologis, bimbingan sosial dan rohani.

ISI Yogyakarta juga memiliki tim Satgas  PPKS yang sudah berdiri selama setahun belakangan ini, dengan masa jabatan dua tahun. Satgas PPKS ISI Yogyakarta memiliki 9 anggota, 6 dari kalangan dosen dan 3 dari kalangan mahasiswa, yang diantaranya ada Ibu Endang dan Viona. Mereka membawakan pembahasan dengan topik “Mekanisme Pelaporan Kekerasan Seksual ke PPKS ISI Yogyakarta”. Harapannya, sosialisasi ini dapat diinformasikan kepada mahasiswa dengan baik dan secara menyeluruh. 

“Kekerasan seksual bisa terjadi oleh siapapun dan dimanapun bahkan kita sendiri bisa jadi pelaku suatu saat,” ujar Viona. Ada beberapa jenis kekerasan seksual yang biasanya sering terjadi, salah satu contohnya seperti menjanjikan, menawarkan atau mengancam korban melakukan transaksi. Bentuk lainnya yaitu kekerasan seksual yang tidak disetujui, misalnya ketika seorang dosen yang menyuruh mahasiswanya datang tanpa adanya kepentingan atau tujuan yang jelas. Adapun contoh lainnya seperti mengirimkan pesan yang bernuansakan seksual, menyebarkan informasi terkait tubuh atau data pribadi, atau bisa juga memaksa dan memperdaya korban untuk melakukan aborsi, serta masih banyak lagi contoh kekerasan seksual yang sering terjadi, tergantung tingkatannya.

“Tanggung jawab untuk membuat ISI terbebas dari kekerasan seksual itu adalah tanggung jawab kita bersama bukan tanggung jawab SATGAS. Jadi, kalau pertanyaannya apakah ISI sudah terbebas dari kekerasan? Jawabannya belum. Banyak aduan, banyak yang sedang dalam proses penyelesaian. Artinya ISI belum aman dari kekerasan seksual. Lalu siapa yang bisa membuat ISI menjadi kampus yang aman dan terbebas dari kekerasan seksual? Kita semua, mahasiswa, dosen dan tendik. SATGAS itu hanya perwakilan yang bertugas hanya selama dua tahun setelah itu akan diganti lagi dengan yang lain,” tambah ibu Endang.

Dasar dari penanganan kasus kekerasan seksual sendiri terdapat 3 aturan, antara lain: [1] Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. [2] Persesjen Kemendikbudristek No. 17 Tahun 2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Permendikbudristek No. 30 Th. 2021. [3] UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Adapun mekanisme pelaporan yang dapat dicermati oleh mahasiswa adalah sebagai berikut

Korban bisa melaporkan kasus kekerasan seksual melalui form aduan di satgasppks@isi.ac.id

“Belajar dari diskusi dengan para mahasiswa, saya menemukan bahwa beberapa kasus KS ini bisa dihindari oleh mahasiswa karena kasusnya kebanyakan mahasiswa, ya. Ketika mahasiswa itu bersikap berani, berani mengatakan tidak, berani menunjukan sikap kalau dia tidak suka dengan perlakuan KS itu, maka kasus terhindar. Jadi PR untuk tidak memperdaya mahasiswa ini dengan sikap berani,” tambah Bu Endang. 

Perlu diingat bahwa sesama mahasiswa yang berperan sebagai teman korban yang mengalami kekerasan seksual juga harus memiliki respect yang tinggi. Jika pada contohnya sesama mahasiswa menemukan seorang korban yang memberanikan diri untuk speak up, maka sebagai teman yang baik sebaiknya berupaya untuk menemani dan mengawal korban. Korban membutuhkan keberanian yang tinggi serta perjuangan yang besar untuk melawan rasa takut pada dirinya sendiri untuk speak up. Membantu korban menghadapi rasa traumanya dan tidak menjauhi atau mengintimidasi korban merupakan langkah yang baik yang dapat dilakukan sebagai sesama teman korban.

Untuk seluruh warga kampus baik mahasiswa atau pengajar, jika menemukan tindak kekerasan seksual di lingkungan kampus, maka segeralah melapor demi memberantas dan memperjuangkan kebenaran. Melapor adalah langkah pertama untuk menghentikan tindak kekerasan seksual, berani menyuarakan tindak kejahatan dan membela kebenaran. Mari kita berani berbicara,  mencegah hal-hal yang lebih buruk terjadi kedepannya demi  kampus yang aman dan nyaman untuk menimba ilmu. 

Teks oleh: Nurul Azami Ramadhani/ PRESSISI 12

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.