Pameran Dekrety #3: “Fun Meets Function” dalam Revolusi Energi Desain Produk

Yogyakarta, 11 Februari 2025 — Pameran Dekrety #3 yang berlangsung di Jogja National Museum (JNM), digelar oleh Prodi Desain Produk ISI Yogyakarta, dibuka pada sore hari tanggal 11 Februari 2025 dan akan digelar hingga tanggal 15 Februari 2025. Pada edisi pameran Dekrety yang ketiga ini diusung dengan tema “Eccentric Euphoria: Fun Meets Function”, yang merayakan kebebasan berkreasi dalam ranah desain produk. Perkembangan pameran ini yang dari mulanya ajang pamer tugas sampai ke edisi yang ketiga merambah cakupan yang lebih luas hingga ke luar Jogja, menghadirkan 60-70 karya yang dipamerkan. Terdapat karya-karya dari dua seniman undangan yaitu Uji Hahan dan Denakrom, serta sejumlah karya partisipan lainnya, dari mulai mahasiswa Jurusan Desain Produk, Seni Murni, dan Desain Interior Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Institut Seni Indonesia Surakarta yang juga ikut andil dalam menyumbangkan karya, hingga Universitas Negeri Solo (UNS) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

(11/02/2025) Suasana pada ruang pameran Dekrety #3 di JNM

Kurator pameran, Dede Affian Surya S.Ds., M.Sn., atau yang lebih dikenal dengan Dede Bayigorila, pada proses kurasinya berusaha menyuguhkan sebuah pengalaman visual yang memadukan eksplorasi fungsi dan kesenangan, serta menantang batasan konvensional dalam dunia desain produk.

Mengusung ideologi design, create, creative, dan creation, pameran ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi pengkarya untuk mengekspresikan kreativitas mereka secara bebas tanpa mengabaikan prinsip dasar desain, yaitu fungsi. “Eccentric Euphoria: Fun Meets Function” menjadi sajian adicita karya yang menampilkan berbagai produk dengan pendekatan yang asimetris dan eksperimental, namun tetap memperhatikan kegunaan produk tersebut. Dede menekankan bahwa kebebasan berkreasi diberikan dan “follow to fun” membawa kesan yang menyenangkan.

(11/02/2025) Sesi Curator Talk Dekrety #3 di Jogja National Museum

Pada sesi curator talk yang dihadiri oleh Dede Bayigorila, Arsita Pinandita, Sujud Dartanto, serta special guest Agung Sentausa berhasil memberi banyak insight baru. Dari semua isi materi yang disampaikan dan dijabarkan terdapat hal menarik pada perbincangan di sesi ini. Sang kurator, Dede Bayigorila terasa memberi tendensi pada “kebebasan pengkarya”. Beliau menyampaikan bahwa pada pameran ini, pengkarya bebas berekspresi sebebas-bebasnya, walaupun terbatas karena disiplin ilmunya ada pada ranah desain, yang “follow to function” tapi tetap “follow to fun”, tetap bebas dan menyenangkan. Terdengar kontradiktif jika dikatakan bebas tapi juga terbatas. Jika pengkarya bebas sebebas-bebasnya apakah akan tetap “follow to function”? Tentunya sebuah desain produk akan dibuat mengikuti fungsi produk itu untuk apa dan untuk siapa. Pernyataannya ini juga lantas menimbulkan pertanyaan lainnya. Jika pembuat desain dibebaskan  berekspresi bukankah itu menjadi self expression? Jika itu self expression lalu apa yang membedakannya dengan seni rupa murni? Bukankah ini desain produk? Terkait hal ini, Dede menjawab bahwa yang ia maksud bebas itu ekspresi dan eksplorasinya. Dede memberi contoh dengan analogi desain sebuah kursi.  

“Kita boleh membuat kursi dengan bentuk yang meliuk-liuk, memberikan sentuhan estetis tapi tetap bisa nyaman untuk diduduki,” ujarnya. 

Menurut penulis, jawaban tersebut masih kurang “menjawab” karena masih mengandung kontradiksi bebas tapi terbatas. Upaya eksplorasi bentuk bentuk estetis pada desain kursi itu menjadi jawaban atas “kebebasan ekspresi” pengkarya, dan desain tersebut “harus tetap nyaman untuk diduduki, “ adalah batasannya. Jadi, bebas tapi tetap terbatas.

Lain halnya dengan tanggapan Sujud Dartanto yang cukup menghibur. Beliau menambahkan bahwa desain itu memang datang untuk mencari masalah dan menyelesaikan masalah, sementara kalau dalam ranah seni murni sebetulnya datang untuk membuat masalah juga bisa. 

Lagi, yang juga cukup membekas adalah respon dari Agung Sentausa. 

”Kita berusaha follow to fun. Nah, yang mau fun tuh hasilnya atau apanya? Karena kadang untuk mencapai sesuatu yang fun tuh malah prosesnya tidak fun, berdarah darah, atau mau bikin sesuatu karena kelihatannya prosesnya fun, nih, pas dijalani ternyata tidak fun, tidak menyenangkan.” 

Pernyataan Mas Agung ini memberikan refleksi dalam proses berkarya. Jika pengkarya ingin bebas, pengkarya harus tetap bisa membawa hasil yang fun dengan proses yang fun baginya dan tujuannya.

Mencoba menduga-duga apakah ini upaya ekspansi membawa desain ke ranah “fine art,” ke kelas seni rupa yang lebih murni walaupun masih dengan praktik-praktik teknis dan pendekatan yang masih serupa dengan “desain”. Tentu perlu membaca latar di belakang dugaan ini, semua yang terlibat dalam pameran ini, khususnya penyelenggara, mahasiswa jurusan Desain Produk ISI Yogyakarta. Mereka ini yang ada di pusaran Jogja yang kuat dengan kesenirupaan dan kesenimanannya, dimana hal ini sangat bisa menggugah rasa ingin berkarya sebagai seniman yang lumrahnya output karyanya adalah fine art. Terutama dengan ruang lingkup sosial yang sekitarnya para mahasiswa ISI, dimana-mana dikit-dikit “nyeni” dikit-dikit “nyeni”. 

Tidak bicara tentang boleh atau tidak, halal atau haram, tentu boleh saja desainer berkarya dalam bentuk apapun. Akan tetapi, ada identitas yang melekat ketika berbicara terkait disiplin ilmunya, apalagi dalam ranah pendidikan akademis.

Dalam wawancara dengan salah satu pengunjung, Naufal Gilang R., yang merupakan seorang mahasiswa FSRD ISI Yogyakarta, ia mengungkapkan pendapatnya tentang pameran ini. 

“Bagus, sih, tapi jujur kalau dari aku pribadi, nggak ada yang spesial. Kalo yang aku ekspektasi spesial, tuh, di eksekusi display, kayak pencahayaan, terus teknis penempatan karya. Karya karyanya bagus, kok, tapi ya bagus aja, bukan sesuatu yang fresh atau benar benar baru buatku, ya udah bagus aja,” ujarnya. 

Menurut Naufal, yang mengaku tidak terlalu mendalami ilmu desain, meskipun pameran ini berhasil menyajikan pengalaman yang menyenangkan, ia merasa kurang mendapatkan pengalaman desain yang problem-solving yang lebih mendalam, sesuatu yang biasanya ditemukan dalam pameran desain yang lebih fokus pada solusi permasalahan. 

Pas masuk, tuh, gak terlalu ngerasa kalau ini pameran anak desain gitu, dan aku juga engga ikut sesi curator talk, tapi pas baca teks kuratorialnya, sih, memang ngerasa berusa ngebawa ke arah yang lebih ‘nyeni’ emang,” papar Naufal.

Ia kembali berpendapat dengan menyampaikan bahwa seharusnya pameran ini bisa lebih kuat lagi dengan identitasnya sebagai desain produk. Naufal juga berharap bisa melihat desain desain produk yang memang inovatif sebagai produk, kreatif dari berbagai aspek, tapi tetap punya nilai fungsi sejatinya sebagai desain produk.

Terlepas dari beragam pendapat tersebut, Pameran Dekrety #3 cukup  berhasil menciptakan ruang bagi kolaborasi lintas disiplin antara seni rupa dan desain produk. Yogyakarta, sebagai barometer seni rupa Indonesia, kembali membuktikan kemampuannya untuk menjadi ruang eksperimen kreatif yang bebas, dengan usaha tanpa menghilangkan esensi dari desain itu sendiri.

Pameran ini dapat mengingatkan kita bahwa desain tidak hanya soal fungsi semata, tetapi juga soal bagaimana desain mampu menghadirkan kesenangan, kebebasan, dan inovasi, meskipun dalam batasan-batasan yang ada. Dengan demikian, Dekrety #3 bukan hanya sekadar pameran, tetapi sebuah perayaan kebebasan berpikir dalam dunia desain yang terus berkembang. Kita nantikan keberlanjutan pameran ini dengan wacana-wacana baru dan menariknya di edisi edisi mendatang.

Penulis: Satria Alan D. / PRESSISI 12

Fotografer: Muhammad Ardan / PRESSISI 13

Editor: Maria Santissima T. B. / PRESSISI 11

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.