Penggambaran Sisi Negatif Oknum Guru Agama pada Film ‘Mukhlis’

Sebagai mahasiswa Film, tentunya membuat film merupakan hal rutin yang sering dilakukan. Entah itu sebagai tugas, maupun keinginan sendiri untuk menyampaikan sebuah pesan. Tugas Akhir yang menjadi karya terakhir di kampus biasanya diproduksi dengan penuh persiapan dan garapan yang maksimal. Begitupun dengan mahasiswa S-1 Film dan Televisi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang pada Juni lalu menayangkan karya tugas akhir mereka secara daring. Dalam acara penayangan tersebut menampilkan 11 film fiksi, 7 film dokumenter, serta 2 program televisi yang seluruhnya diproduksi tahun 2021.

Seperti yang sudah diketahui, tak hanya sebagai media tontonan dan hiburan, film juga dapat dijadikan sebagai media penyampaian pesan yang sangat efektif. Begitupun dengan film “Mukhlis”, salah satu karya tugas akhir mahasiswa Film dan Televisi ISI Yogyakarta yang tayang bulan Juni lalu. Tak hanya digarap sebagai pemenuhan tugas saja, film ini tentunya menghadirkan sebuah cerita yang bisa menjadi cerminan kehidupan di lingkungan pesantren.

Tak hanya aspek visual dan audio yang sudah tentu memanjakan seluruh penontonnya, film ini juga memberikan cerita yang padat. Berawal dari premis sederhana tentang seorang santri yang harus mengantarkan barang titipan ustadz ke suatu tempat. Ditulis oleh Yolanita Valensia dan Ofelia Galuh Citra Gupta, premis tadi kemudian dikemas dan dikembangkan menjadi cerita dengan konflik yang padat. Film “Mukhlis” ini menampilkan sedikit gambaran kehidupan di sebuah pesantren, serta mengambarkan sebuah pertentangan diri seorang guru yang hidu kungan yang teratur dan agamis.

 

Poster Film ‘Mukhlis’ ( Sumber: galeripandeng.isi.ac.id)
 

Seorang ustadz yang sejatinya menjadi pemberi ilmu agama, bukan berarti tidak pernah melakukan dosa. Hal tersebut yang menjadi salah-satu hal yang dibahas melalui film ini. Film ini berani menggambarkan adanya oknum guru agama atau yang lebih kita kenal sebagai ustadz yang memiliki perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan ajaran serta lingkungannya. Ustadz tersebut diceritakan menjadi pengedar kaset video dewasa yang nantinya didistribusikan ke sebuah tempat hiburan malam. Tentunya hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi pada kehidupan nyata. Namun, bukan tidak mungkin bahwa kisah ini memang terinspirasi dari sebuah kejadian nyata yang pernah ada sebelumnya.

Film ini dapat menjadi tontonan yang menyenangkan, tetapi dapat juga menjadi tontonan yang menjadi perdebatan. Dibutuhkan sasaran penonton yang tepat jika akan menayangkan film ini. Akan tercipta setidaknya dua pandangan berbeda dari penonton setelah menonton film ini. Apresiasi tentunya akan diberi oleh mereka yang memahami dan menikmati film sebagai seni audio visual yang bercerita. Namun, bukan tidak mungkin ada juga golongan yang memperdebatkan karena tidak setuju dengan karakterisasi oknum ustadz dalam film ini yang dirasa membawa pandangan negatif terhadap sosok guru agama.

Diperlukan tanggung jawab serta argumen yang kuat ketika nantinya ada pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada ketidaksetujuan terhadap adanya penggambaran ustadz tersebut. Tentunya hal ini sudah menjadi hal yang biasa dan para tim sudah siap dengan apapun yang terjadi kepada karya mereka. Karena sejatinya, seorang pencipta lebih mengenali karya yang telah mereka ciptakan.

 

Teks: Mochammed Fadliawan (Televisi dan Film 2020 – Pressisi 10)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.