Menginjak paruh akhir semester enam, mahasiswa Program Studi Film dan Televisi angkatan 2015 Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta diwajibkan membuat satu produksi film besar yang nantinya akan diujikan dalam bentuk Screening Praktika. Produksi film tersebut wajib diikuti oleh setiap mahasiswa yang mengambil penjurusan penciptaan seni mata kuliah Produksi Film. Dari mereka, terkumpul sebanyak tujuh judul film yang siap diujikan. Pengujian dilakukan secara terbuka di gedung Audio Visual Institut Francais Indonesia (IFI) Yogyakarta pada Senin, 25 Juni 2018 lalu. Screening ini dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama memutar dua film fiksi pendek dan dua film dokumenter pendek dengan judul Maya (fiksi), Sebuah Undangan (fiksi), Kala Rumpon (dokumenter), dan Kembang Segara (dokumenter).

Screening Praktika sesi I berisi film-film yang mengangkat berbagai isu dan fenomena-fenomena sosial. Contohnya adalah fungsi-fungsi perangkat pemberdayaan dan pengembangan generasi muda seperti Bimbingan-Konseling, yang dirasa belum mampu menunjukkan dampak nyata terhadap perkembangan pola pikir serta tingkah laku para siswa di sekolah. Keprihatinan inilah yang menjadi gagasan atau ide awal pembuatan konsep salah satu film fiksi yang diputar dalam sesi I dengan judul Sebuah Undangan. “Dulu waktu Sekolah Menegah Atas (SMA) saya tidak tahu di mana letak ruang Bimbingan Konseling (BK),” ujar Fauzan Kurnia Muttaqin (Sutradara film Sebuah Undangan) saat ditanya alasan mengapa dalam film garapannya hanya menggunakan satu setting tempat saja. Pemilihan ruang BK sebagai satu-satunya ‘panggung’ untuk karakter tokoh anak SMA berakting merupakan satu pemilihan konsep yang tepat, mengingat sejatinya ruang BK merupakan tempat untuk mewadahi murid-murid yang mempunyai daya ekspresi berlebih.
Lebih lanjut, film Praktika ini memang tidak mempunyai setting tempat variatif yang indah nan memesona seperti: hamparan sawah hijau, pesisir pantai, dll, melainkan hanya sebuah ruang BK kecil yang dihiasi dengan sedikit pernak-pernik piranti kerja seorang guru seperti pada umumnya. Suasana sunyi terkesan mendominasi dalam adegan-adegan film ini karena tidak adanya aktivitas-aktivitas administratif yang seharusnya banyak dilakukan dalam ruang kerja seorang Pegawai Negeri Sipil.
Film ber-genre drama ini dimulai dengan datangnya dua orang siswa laki-laki ke sebuah ruangan BK di sekolahnya. Dalam heningnya suasana ruang BK, kedua siswa tersebut mulai saling bertanya terkait masalah dan tujuan mereka masing-masing datang ke tempat tersebut. Dari pembicaraan tersebut, diketahui bahwa salah seorang dari mereka berurusan dengan BK lantaran ia tidak mau bersekolah menggunakan atribut dengan warna seperti yang tertulis dalam peraturan sekolah. Sedangkan satu siswa lainnya hanya menyampaikan alasannya secara tersirat, dengan mengatakan bahwa ia ingin berkonsultasi soal jalur seleksi masuk perguruan tinggi.
Setiap tokoh membawa masalah dan prinsip hidup masing-masing. Tokoh dengan pelanggaran atribut contohnya. Ia selalu mempertanyakan alasan juga tujuan sekolah mengkritisi penampilan murid-muridnya. Sedang satu tokoh di sampingnya dengan tegas menggugat hak sekolah mengurus pilihan hidupnya untuk merokok. Adegan ini digambarkan dengan murid tersebut merokok di dalam ruang BK dan berujar, “Mau merokok di dalam atau di luar sekolah sama saja, tetap ujung-ujungnya dipanggil ke sini.”

Pembicaraan-pembicaraan demikian menjadi daya tarik tersendiri dari film berdurasi 15 menit ini. Kedua siswa tersebut saling bertanya dan menjawab dengan gaya semi-kritis khas anak SMA. Film ini baru mencapai antiklimaks saat Pak Guru BK yang sedari awal hanya diam saja mendadak mulai bicara, dan kedua murid tadi mulai tersadar dari ruang imajinasi mereka. Dalam kesadaran diri yang mendadak itu, perlahan-lahan Pak Guru memberikan surat Drop Out untuk keduanya karena sikap dan prinsip mereka yang tidak mau mematuhi peraturan sekolah. Keduanya hanya diam selagi menerima surat tersebut lalu mulai keluar dari ruangan. Pak Guru yang sendirian, mulai menyalakan rokok, film pun berakhir.
Melalui cerita ini, Fauzan mengajak penonton untuk menyoroti kembali fungsi lembaga-lembaga pengembangan masyarakat terutama dalam bidang pendidikan, yang sedang mengalami stagnasi. Sampai saat ini masih belum banyak manfaat yang bisa dirasakan dari peran dan fungsi pendidikan di Indonesia terhadap pembangunan kehidupan generasi penerus. Bisa jadi, hal itu terjadi karena komponen-komponen pendidik tidak berfikir ke arah sana, dan terlalu nyaman duduk menikmati kemapanan dan kecukupan yang bersifat pribadi. Hak-hak murid berpendapat pun seolah hilang karena kewajiban mematuhi peraturan yang tidak berpihak kepada mereka sedikitpun.
***
Setiap selesai memutar satu film, panitia tidak memberi jeda sedikitpun kepada penonton untuk megambil nafas. Film kedua dengan judul “Maya” pun langsung dimulai. Sebuah film pendek fiksi yang mencerminkan semangat idealisme sineas muda dalam berkarya. Seperti kita ketahui bersama, film pendek menjadi sebuah wadah yang menawarkan kesempatan bagi para sineas untuk menuangkan ide dan gagasan secara murni, tanpa campur tangan para pebisnis yang sering ikut campur bahkan mengambil alih hak milik sebuah cerita atau konsep film layar lebar di tingkat nasional, semata-mata untuk kepentingan uang dan popularitas. Beruntung, hal itu belum tidak menjangkit Ainul Fikri (Sutradara Film Maya) beserta kru produksi filmnya.
Seperti dalam film pertama, film kedua ini kembali mengangkat tema yang sudah awam dan menjadi isu sehari-hari di kalangan masyarakat. Dalam sesi tanya jawab, Sutradara film “Maya” itu mengatakan bahwa ide filmnya berangkat dari tema sederhana yang sudah dikenal oleh semua orang, yakni tentang kebersihan rumah. Namun seperti dalam film-film pendek pada umumnya, sesederhana apapun sebuah tema akan dibungkus dengan konsep yang cenderung bersifat berlebihan guna memunculkan satu kesan baru dari cerita yang sudah ada. Tokoh utama dalam film ini bernama Maya, seorang ibu kos paruh baya yang gila akan kebersihan. Dialah subjek utama yang ‘ditakdirkan’ harus menjalankan sifat-sifat berlebihan yang menjadi ciri khas cerita sebuah film pendek.

Belum ada dialog sedikitpun hingga kurang lebih tiga menit di awal film. Selama itu, shot-shot hanya berupa gambar-gambar informatif yang memperlihatkan kegemaran Maya membersihkan rumah dan menata ulang barang-barang yang telah dipakai anak kosnya. Termasuk salah satunya saat Maya membersihkan tangan dan sudut lantai rumah kosnya yang terkena banyak bercak merah, yang pasti banyak penonton menyadarinya sebagai bercak darah, mengingat genre film ini adalah thriller-misteri.
Untuk menambah kesan menyeramkan, tak lupa film fiksi ini dibekali scoring musik hampir di setiap saat adegan berlangsung. Alunan scoring ala thriller dan ekspresi datar Maya membuat kesan rumah kosnya sangat mencekam. Suasana lighting juga di-set selalu gelap dan kelam, sampai-sampai penonton yang duduk tak jauh dari saya bertanya gemas ‘kenapa lampu rumahnya dari tadi nggak dinyalain sih?’.
Setelahnya, film ini langsung menginjak ke tahap Rising Action di mana salah seorang teman kos yang bernama Bobi tidak lagi terlihat batang hidungnya. Awalnya, Ega dan Kemal (mahasiswa yang tinggal atau kos di rumah Maya) ingin bertanya kepada Bobi yang memiliki background mahasiswa jurusan psikologi, terkait perilaku aneh sang ibu kos yang over dalam hal kebersihan.
Seperti tebakan atas clue darah pada scene pertama, Bobi ternyata di bunuh oleh sang ibu kos, juga dengan Ega dan Kemal yang menyusul satu persatu. Semua menjadi jelas meskipun tidak tergambar secara langsung, karena pada tahap penyelesaian, Maya menelepon dokternya dan memberitahukan bahwa obat yang selalu dikonsumsinya saat melihat anak-anak kosnya tidak menjaga kebersihan rumah kos sudah habis. Dalam pengakuannya itu, terasa ngeri dan merinding melihat ekspresi wajah paruh bayanya yang terkesan tidak melakukan satupun hal yang salah.
Film berdurasi 18 menit ini cukup menghibur, sehingga tak terasa film cepat berakhir. Datangnya dua orang pemuda yang menanyakan kos ke rumah Maya menjadikan ceritanya tak berkesudahan, selagi ia masih hidup dan tidak segera sembuh. Benar-benar seorang psikopat!
***
Film menyeramkan itupun akhirnya berakhir. Pemutaran film berlanjut, masih tanpa jeda di antara perpindahannya. Sedikit berbeda jenis dari kedua film di atas, film ketiga ini berjenis dokumenter pendek. Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan. Artinya, jenis film ini hanya berfokus untuk menyampaikan fakta-fakta yang sesuai dengan tema yang diangkat, tanpa garapan-garapan fiksi di dalamnya. Dalam film dokumenter, isi yang informatif menjadi hal yang mutlak harus ada. Pemilihan tema yang berada tidak terlalu jauh secara geografis dengan target audiens menjadi resep yang jitu sebagai metode untuk menarik perhatian penonton agar bersedia menikmati suguhan-suguhan film dokumenter. Hal tersebutlah yang diterapkan dalam film garapan Dimas Purwadharma, berjudul Kembang Segara.

Menelusuri kehidupan masyarakat pesisir Yogyakarta, maka kita akan menemukan sebagian besar dari mereka hidup dengan kepercayaan kuat kepada benda-benda, ataupun tokoh-tokoh yang mungkin bagi sebagian masyarakat lain disebut sebagai takhayul. Tak terkecuali warga Purbayan, Parangkusumo, Yogyakarta dengan situs Cepurinya. Situs budaya yang dalam mitosnya merupakan tempat pertemuan antara pendiri Dinasti Mataram, Panembahan Senopati dengan penguasa pantai selatan, Kanjeng Ratu Kidul. Kepercayaan terhadap mitos tersebut kini banyak diselewengkan dengan maraknya kegiatan-kegiatan prostitusi yang menjamur di sekitar Pantai Parangkusumo.
Film dokumenter investigatif ini mencoba mengulik tentang fenomana prostitusi di wilayah sakral tersebut. Banyak narasumber yang dihadirkan, termasuk salah satunya adalah Ketua RT setempat. Darinya, didapat informasi bahwa sejak awal tahun 2000-an, kegiatan prostitusi sudah menjadi hal yang biasa di Parangkusumo. Padahal hingga satu dekade sebelumnya, daerah tersebut masih bertahan sebagai tempat ziarah atau tirakat bagi masyarakat sekitar maupun luar daerah. Menurutnya, fenomena tersebut terjadi karena adanya penyelewengan nilai dari situs Cepuri. Informasi-informasi ini ditampilkan dengan metode wawancara dengan selingan keadaan terkini mengenai objek-objek terkait.
Situs Cepuri sendiri merupakan kaveling tanah berisi dua buah batu besar yang mitosnya merupakan tempat terjadinya kontrak perkawinan politik di antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Keterangan-keterangan narasumber dalam film investigatif berdurasi 20 menit ini disampaikan secara langsung melalui wawancara lapangan. Melalui metode tersebut, didapatkan banyak temuan-temuan fakta baru yang berguna dalam menyampaikan pesan film kepada penonton.

Hadirnya film ini seharusnya mampu membuka mata masyarakat Kota Yogyakarta agar lebih peduli terhadap ‘tetangganya’. Suguhan-suguhan visual nyata dari kehidupan sehari-hari masyarakat Parangkusumo beserta fakta-fakta yang ada hendaknya menjadi perhatian khusus bagi segala lini masyarakat Kota Yogyakarta, terlebih oleh pihak-pihak terkait.
***
Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Penonton yang datang terlambat dipersilakan masuk ruangan dan menempati sisa tempat antara kursi penonton dengan layar utama, di selang waktu pergantian film keempat. Film terakhir pada sesi pertama ini sedikit berbeda dengan film dokumenter pada umumnya yang tidak terlalu mementingkan aspek-aspek sinematografi. Dalam penyajiannya, film dokumenter berjudul Kala Rumpon ini mempunyai banyak shot montage yang cukup memanjakan mata. Selama 21 menit film diputar, tak bosan-bosannya diperlihatkan pemandangan laut, kapal-kapal yang berjejer, bahkan gerombolan lumba-lumba yang berenang mendekati perahu. Dengan tambahan scoring lagu Tanah Airku ciptaan Ibu Sud pada bagian akhir film, membuat–untuk beberapa saat–terasa benar-benar miris atas nasib Ibu Pertiwi pada hari-hari belakangan ini.

Film dokumenter pendek bergaya kontradiksi ini mengangkat tema besar mengenai cara kerja masyarakat pesisir yang sudah membudaya dengan menggunakan rumpon untuk menangkap ikan. Hal ini mengundang banyak pro dan kontra di berbagai kalangan, bahkan sesama nelayan. Banyak nelayan kecil yang tidak menyetujui penggunaan rumpon, karena berakibat pada persebaran ikan laut yang tidak merata, sehingga mengurangi jumlah tangkapan harian para nelayan kecil tersebut. Sedangkan bagi nelayan yang mempunyai kapal cukup besar dan mampu pergi ke tengah laut, berdalih dengan susahnya mencari ikan jika tidak memakai alat bantuan. Dengan memakai rumpon, mereka berharap bisa mendapat lebih banyak tangkapan ikan.
Nampaknya, Brian Rayanki (Sutradara film Kala Rumpon) benar-benar ingin menguak sisi pro dan kontra penggunaan alat bantu menangkap ikan ini. Hal tersebut dibuktikan dengan shot pertama yang langsung memuat konten peringatan keras dari Menteri Perikanan yang mengingatkan tentang kerugian penggunaan rumpon. Sehingga tampak bahwa penonton ditempatkan sebagai pihak ketiga yang secara tidak langsung diberi tanggung jawab untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah.
Pada dasarnya, rumpon berfungsi untuk mengundang ikan-ikan agar bergerombol di sekitarnya, sehingga memudahkan para nelayan yang pergi melaut untuk menjaringnya. Sedangkan nasib nelayan kecil yang tidak mempunyai kapal yang cukup kuat untuk melaut sudah dapat dipastikan, karena ikan-ikan tersebut tidak pernah lagi berenang sampai ke pantai.
Film dokumenter pendek dengan gaya kontradiksi ini mewadahi semua pendapat terkait penggunaan rumpon. Gaya bertutur yang sering menabrakkan satu gagasan dengan gagasan lain selalu dipakai hingga penonton sedikit-banyak memahami situasi yang terjadi di kebanyakan pantai-pantai di Indoneisa ini.

Pada akhirnya, film ini mempunyai fokus dalam menyoroti eksistensi kebijakan-kebijakan dan regulasi terkait penangkapan ikan. Banyak kebiasaan nelayan yang sudah menjadi budaya dan cara kerja yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Film ditutup dengan potongan video pidato Menteri Perikanan, mengingatkan para nelayan untuk membatasi penggunaan rumpon agar ikan laut di perairan Indonesia tetap tersedia, bisa ditangkap, dan berkontribusi bagi kemajuan negara.
Berakhirnya film keempat menjadi akhir dari sesi I Screening Praktika. Sebelum dilanjutkan dengan sesi II, panitia membuka sesi diskusi dan tanya-jawab singkat. Sesi ini ditujukan untuk memberi kesempatan penonton memberikan apresiasi ataupun bertanya terkait film-film yang telah diputar, kepada masing-masing sutradara yang sudah lebih dulu memantik diskusi dengan menceritakan latar belakang dan tujuan masing-masing film dibuat.
****
Teks : Iddha Parta Driasmara/ Film dan Televisi 2017