Dalam rangka memperingati perayaan Dies Natalis ISI Yogyakarta, banyak agenda yang telah terselenggara sejak 31 Mei 2021 dengan diawali sidang senat terbuka yang jumlah orangnya terbatas di Concert Hall ISI Yogyakarta. Menginjak usianya yang ke-37 pada tahun ini, ISI Yogyakarta membawakan tema besar yaitu ‘Kebangkitan Seni di Era New Normal’ dan salah satu agenda utama yang sangat menarik adalah seminar nasional yang dilaksanakan pada tanggal 8 Juli 2021. Merujuk dari tema besar Dies Natalis kali ini, topik yang dibahas berhubungan dengan Peristiwa keseharian yang sangat dekat dengan kita di masa pandemi, yaitu ‘Seni dan Kehidupan Normal Baru’. Membahas bagaimana perkembangan seni di era New normal yang banyak ditunjang dengan kemajuan teknologi digital.
Seminar nasional ini dilaksanakan secara daring dan dihadiri lebih dari 500 partisipan zoom termasuk peserta yang menonton melalui channel youtube ISI Yogyakarta. Serta turut hadir meramaikan seminar sejumlah kolega yang diantaranya adalah dari Kemendikbud ristek RI, Kemensetneg RI, Kemenparekraf RI dan beberapa perguruan tinggi seperti ISI Surakarta, ISBI Bandung, Univ Brawijaya Malang dll. Seminar dibuka dengan sambutan oleh pak Agus Burhan selaku rektor ISI Yogyakarta sekaligus sebagai keynote speaker pada seminar ini. Sebelum memberikan kesempatan kepada pembicara, pak Mikke Susanto selaku moderator sedikit memberikan narasi tentang alasan mengangkat topik kali ini, yaitu karena kita perlu banyak melakukan gerakan-gerakan dan diskusi yang bersifat mampu mengantisipasi gejala-gejala yang disebabkan oleh pandemi serta mengupayakan agar kehidupan sehari-hari kita tetap berjalan di dalam kehidupan normal baru khususnya dalam lingkungan seni.
Untuk membahas tentang seni dan kehidupan normal baru ini, telah diundang tiga tokoh pembicara ternama, yaitu yang pertama adalah pak Miroto, beliau adalah seniman sekaligus staf pengajar di ISI Yogyakarta. Pak Miroto memaparkan bagaimana proses perubahan dunia tari dari yang mengalami unfreezing, yaitu mereka sempat bingung karena kehilangan ruang ekspresi, lalu terjadi suatu perubahan atau changing, dimana disrupsi pandemi berdampak pada mencairnya paradigma tari yang ditampilkan dalam ruang maya dengan medium tubuh simulasi, berawal dari prosenium menjadi layar. Selanjutnya sampai pada tahap kita sudah akrab dengan berkegiatan secara daring, online, virtual dan sebagainya atau disebut freezing yang memang sebelumnya telah muncul masyarakat yang mendukung maupun menolak perubahan atau perkembangan teknologi. Pada akhir sesi, pak Miroto menyinggung juga soal kesiapan kita selanjutnya untuk menuju revolusi industri 5.0 yang sudah dekat didepan mata dan pastinya semakin canggih dengan akan adanya teknologi hologram.
Dilanjutkan pada sesi kedua oleh pak Tommy F.Awuy, beliau menjelaskan lebih dalam bagaimana dengan kekuatan teknologi ini dapat merubah tatanan nilai, moral, dan mentalitas masyarakat. Beliau yang dikenal sebagai seorang filsuf juga meruntut secara historis bagaimana dan kenapa kita tidak mampu menolak perkembangan zaman atau teknologi, yang menurut beliau benar-benar merubah tatanan hidup manusia sampai sekarang ini.
Pembicara terakhir ditutup oleh seorang sutradara, penulis skenario, sekaligus seorang produser film yang namanya pasti sudah sangat dikenal di jagad perfilman lndonesia, beliau adalah pak Garin Nugroho. Pak Garin banyak memberikan berbagai contoh nyata melalui beberapa hasil dokumentasinya saat diundang di luar negeri perihal bagaimana kesiapan management art disana ketika menghadapi kendala seperti pandemi. Pak Garin memberi judul hasil dokumentasinya dengan ‘Revolusi dan Evolusi di Era kultur Visual’. Penjelasan beliau memberi kita sudut pandang yang lebih luas untuk menjadi perbandingan dan solusi bagi dunia seni (Indonesia) di era new normal ini. “fenomena ini adalah peta baru, marilah kita membacanya, ada yang bisa kita baca, ada yang tidak bisa kita mengerti, karena ini adalah sebuah revolusi dan selalu manusia itu sebuah revolusi dari revolusi teknologi”. inilah sedikit kutipan dari penjelasan beliau., Pak Garin juga berpesan bahwa mata kuliah media baru sangatlah penting dalam hubungan disiplin berbagai seni. Pemerintah perlu mendesain sistem-sistem komunikasi visual baru dalam hubungan pendidikan, pertunjukan, maupun industri kreatif. Kita harus punya standarisasi manajemen produksi dan visual yang layak tayang dengan syarat-syarat tertentu ditengah kendala apapun.
Sebelum seminar diakhiri, pak Mikke memberikan kesimpulan dari serangkaian penjelasan yang sudah didiskusikan bersama. “kita menyadari bahwa seni itu ternyata sudah bisa dilaksanakan di berbagai tempat, tidak ada halangan untuk kita tumbuh dan bersemangat bekreasi lebih lanjut. Jadi kalau kita berada di wilayah dunia digital ini, mau tidak mau kita harus mempersiapkan diri untuk mengenal teknologi secepat mungkin dengan variasi yang luar biasa banyak”. Kurang lebih seperti itulah kesimpulan seminar nasional kali ini yang disampaikan oleh pak Mikke Susanto.
Teks : Muhammad Abi Hamzah / Anggota Pressisi angkatan 9
1 reply on “ SENI DAN NEW NORMAL (Seminar Nasional Dies Natalis ISI Yogyakarta Ke-37) ”