Lukisan pemuda asal Afghanistan ini mempunyai banyak makna dari berbagai simbol yang digambarkan; bebas namun memiliki keteraturan, serta gambaran kerinduan akan kehidupannya kembali. Filosofi kehidupan dari orang-orang bijak untuk membantu jiwa-jiwa bertumbuh dan mampu keluar dari kepompong.
Nuansa Timur Tengah digambarkan secara ciamik oleh Amin Taasha (23) dalam pameran yang bertajuk Iron Cocoon. Pameran tersebut secara resmi dibuka oleh Warwick Purser, selaku Konsultan Kehormatan untuk Meksiko di Yogyakarta. Pembukaan pameran pun turut memeriahkan waktu menjelang buka puasa, pada Selasa (22/05) di Galeri Fadjar Sidik, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Iron Cocoon merupakan pameran tunggal kali kedua Amin Taasha, sedangkan yang pertama telah diselenggarakan di Afghanistan, tempat kelahirannya. Pengalaman Amin selama tinggal di Indonesia dan menjadi salah satu Mahasiswa Fakultas Seni Rupa Jurusan Seni Murni Lukis di ISI Yogyakarta, menjadikan Amin sebagai seniman dengan bermacam input kebudayaan yang juga memengaruhi bagaimana ia berkarya.
Karya-karya Amin yang dipamerkan di Galeri Fadjar Sidik mewakili makna dari Iron Cocoon sendiri, yakni dua fakta yang menggambarkan kegelisahan sekaligus pergolakan jawaban, untuk setiap pertanyaan Amin dalam melihat kenyataan hukum Piramida masyarakat. Sedangkan Iron Cocoon menurut definisinya adalah: iron atau besi, sebagai simbol dari kekuataan; dan cocoon atau kepompong, sebagai simbol penanda metamorfosis kehidupan seperti proses seekor ulat menjadi kupu-kupu, itulah yang menjadi harapan atau bukti. Akan tetapi, bilamana ulat gagal menjadi seeekor kupu-kupu, dapat disimpulkan bahwa ada juga individu yang tidak berhasil untuk terus bertumbuh secara mental tanpa doktrin serta ilusi ide tentang kebebasan.
“Tema pameran ini dimaksudkan untuk membawa kesadaran kita dengan budaya dan juga sejarah kita. Apa yang kita punya harus dijaga. Entah sejarah itu salah atau benar, harus terus ada karena kita perlu untuk mempelajari, sehingga membantu kehidupan yang akan datang. Menghargai sejarah itu perlu untuk semua budaya di dunia. Afghanistan menjadi pembelajaran: di sana sudah terjadi tragedi penghancuran, itu karena peninggalan sejarah kurang dijaga, jadinya hilang,” jelas Amin.

Posisi Amin Taasha sebagai seniman yang berasal dari Afghanistan sangat menarik, karena daerah tersebut penuh lika-liku cerita dan konflik sejak dahulu kala. Lika-liku dan konflik tersebut menjadikan Amin mampu melukis karya dengan bermacam rasa yang kompleks. Selain itu, Amin juga dapat mewakili keresahaan masyarakat Afghanistan, khususnya Bamiyan, tempat kelahirannya. Daerah-daerah tersebut sangat dekat dengan konflik kematian dan penghancuran situs-situs bersejarah, serta maraknya penjualan maupun perusakan artefak. Sebab warga tidak bisa menghargai sejarah, atau sebagian mengerti tetapi tidak peduli. Melalui kisah kedegilan orang-orang yang tidak menghargai budaya ataupun sejarah tersebut, membuat Amin berani menyajikan pembelajaran melalui karyanya.
Keresahan Amin menjadi faktor yang kuat dalam menemukan feel di setiap karya yang ia tampilkan. Beberapa karya Amin menunjukkan gambar potongan-potongan artefak Buddhis maupun patung-patung lainnya. Pada beberapa kasus, diceritakan orang-orang Afghanistan sengaja memotong bagian artefak itu dengan rasa benci karena ketidaksesuaian keyakinan mereka sekarang. Batas antara ketidaktahuan dan kepandaian berubah kabur sehingga menjadi senjata yang sama untuk saling menghancurkan.
“Menarik, karena pameran ini mencoba menggabungkan beberapa karya konvensional, seperti drawing-drawing pada media yang kecil, dan juga mencoba eksperimental dengan menampilkan mixmedia video. Selain itu juga menambahkan musik untuk membangun feel pada tiap karya yang ditampilkan. Sehingga pameran ini dapat menjadi acuan buat teman-teman seni lukis bahwa suatu hal yang baru selalu bisa dicoba di dunia seni rupa,” komentar Kukuh, salah satu Mahasiswa Seni Rupa Lukis di sela-sela menikmati beberapa karya dalam Pameran Iron Cocoon.

Karya-karya Amin Taasha menjadi sangat unik. Selain Amin berasal dari budaya yang majemuk, ia juga mengolaborasikan seni rupa dengan berbagai media yang khas pada kesenirupaan Timur Tengah. Hampir seluruh karya pada pameran Iron Cocoon ini terdapat musik. Musik-musik tersebut adalah hasil kerja sama dengan Vanja Dabic.
“Mengenai karya Amin Taasha, saya banyak melihat karya-karyanya di ruang pamer ini tidak semua besar, tapi kecil-kecil menandai khas peradaban Timur Tengah klasik. Lukisan miniatur yang biasanya dipakai pada kitab suci karena warna gold ini jika terkena cahaya sedikit, dapat memantul di sekitar elemen-elemen kertas lainnya, sehingga dapat dipakai untuk penerangan. Ini biasa diterapkan pada abad pertengahan Eropa ataupun di Jazirah Arab saat mulai berkembangnya seni rupa Islam. Seni-seni semacam ini dikembangkan oleh Amin, dicampur-baur dengan lingkungan-lingkungan dalam kehidupannya. Di situlah Amin terbentuk. Dengan demikian, Amin menjadi seniman yang mengembangkan seni lukis miniatur, yang kemudian dia tambahi dengan tradisi klasik tinta cina yang sangat kental itu. Kemudian ada tanda-tanda lain di luar Jazirah Arab, seperti dalam karya Amin ada tanda-tanda Buddhis atau Swastika dan sebagainya. Sehingga menyebabkan Amin sendiri meskipun sejatinya orang berkewarganegaraan Afghanistan, tetapi karya-karya dia bukan lagi karya Afghanistan, karena Amin sekarang dapat berdiri sebagai seniman kontemporer global,” tutur Mike Susanto, selaku salah satu penulis dalam pameran Iron Cocoon.

Seniman Afghanistan tersebut menjadi salah satu seniman yang tumbuh dalam akuarium seni rupa yang pas, di mana Indonesia, khususnya Kampus ISI Yogyakarta selalu melestarikan keragaman dalam wujud kebhinnekaan. Iron Cocoon beserta Amin Taasha adalah hal yang perlu diangkat, karena memiliki karakter yang unik, serta tidak banyak seniman memiliki latar belakang seperti ini. Pameran Iron Cocoon sendiri masih berlangsung sampai hari Kamis, 7 Juni 2018, pukul 10.00-17.00 WIB. Mari datang dan apresiasi.