Sosialisasi Kompetisi dengan Diskusi : UOB Painting of the Year 2018

Yogyakarta, Diskusi “Eksplorasi Kultur Lokal dalam Kompetisi Seni”  diadakan oleh UOB, digelar di Bentara Budaya Yogyakarta, Kamis Sore (12/7/2018). Diskusi ini dimoderatori oleh Bambang Arsini Widjarnoko, bersama pembicara Kolektor Seni dan Pemilik Galeri, Edwin Raharjo. Seniman, Pemilik Cemeti , dan Founder Indonesian Visual Art Archive (IVVA), Nindityo Adipurnomo. Terakhir adalah Kurator dan Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Mikke Susanto.

Menariknya diskusi ini adalah salah satu strategi sosialisasi kompetisi yang diadakan oleh UOB, seperti yang dikatakan pemateri Nindityo Adipurnomo “Cara sosialisasi kompetisi seni lukis yang dilakukan oleh UOB sangat menarik, dengan menggunakan diskusi seni sebagai sarana sosialisasi”.

Dalam diskusi tersebut, Nindityo Adipurnomo  menjelaskan bahwa lembaga UOB dalam dunia kesenian membangun integritas kesenian tidak hanya dengan uang, tetapi dengan komitmen di dalam kepedulian terhadap kesenian, seperti kompetisi.

Hal tersebut juga diperkuat oleh Mikke Susanto yang menyebutkan bahwa “UOB mempunyai posisi menarik sebagai perusahaan (patron) yang masuk dalam dunia kesenian, yang cukup baik untuk menunjang kesenian rupa. Dunia seni rupa banyak patron dari lembaga atau perusahaan yang mendukung, yang paling sedikit adalah kesenian teater. Ketimpangan di dunia kesenian tersebut disinyalir adanya artefak dalam dunia seni rupa sehingga merajai kesenian di masyarakat, tidak seperti kesenian teater”.

Sementara itu, Nindityo Adipurnomo menegaskan bahwa “Pemahaman mengenai lokalitas dapat juga berbahaya bagi keberagaman kita dengan mengangkat penanda tradisi, pendekatan tradisi ujung-ujungnya menjadikan kita buta dan tidak kritis”.

Mikke susanto juga sependapat bahwa “Bicara mengenai lokalitas haruslah hati-hati. Lokalitas bagi saya lebih baik disebut prluralitas. Unsur-unsur lokalitas selalu muncul dalam dunia seni rupa kita. Tentu bukan hanya seni tradisi semata, kebiasaan sehari hari yang dipengaruhi semua ideologi yang melahirkan lokalitas dan pasti memiliki sub-kultur dan perlu dikaji”.

Sesungguhnya bukan karya yang mengandung sekedar lokalitas, tetapi ide yang dapat diterapkan pada medium politik yang dikomunikasikan dengan baik. Karena seniman bukan tukang, dan seniman bukan pembuat mitos, tidak boleh takut akan kesalahan. Itulah yang harus dikaji mengenai lokalitas.

Dalam hal kompetisi Edwin Raharjo mengungkapkan bahwa “(Kompetisi di dunia kesenian) saya rasa penting, artinya bagus dulu ataukah terkenal dahulu? Yang jelas kita harus membuktikan dahulu dan membuhtukan waktu untuk berkarya, dan menjadi tanda penting, ketika karya-karyanya dikoleksi kolektor penting”.

“Untuk dunia seni rupa kita tidak memungkiri  mengandalkan lembaga-lembaga penting, yang membangun infrastruktur kesenian dan sampai pada dunia kesenian Internasional. Yang terpenting adalah seniman berkarya dengan sejujurnya, bukan mengejar tren, menjadi seniman baik membutuhkan waktu dan effort yang panjang. Ketika dalam kompetisi dengan kategori profesional dan foto karya tidak profesional (seperti buram atau miring) maka anda harus sadar jika tidak dipilih, meskipun karya aslinya sangat bagus. Hal tersebut adalah salah satu sifat ketidak  profesionalitas seniman. Tetapi dalam kompetisi dengan katagori amature hal tersebut bisa dimaklumi” Imbuhnya.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.