Tak Ada Resolusi di 2018

“Awal tahun ini adalah awal tahun yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya.”

Setiap kali memasuki tahun baru, kita selalu menyambutnya dengan suka cita nan meriah, dan mengulangnya di tahun berikutnya. Yah, hal semacam itu sebenarnya enggak begitu membosankan. Tetapi dengan “Resolusi” yang dikoar-koarkan, dan enggak ada sedikitpun perubahan adalah hal yang menjijikkan.

Apa yang terjadi pada tahun 2017 dan 2018 mendatang adalah hal sama dan terus akan berulang lagi. Ah, sangat membosankan! Bagaimana tidak? Misalnya nih, dari tahun 2014 sampai akhir 2017 ini, kampus yang aku tempati tak ada banyak perubahan yang signifikan. Yah, sama. Membosankan bukan?

Apa yang dimaksud sama? Nah, awkay kita mulai dari KRS Online. Pasti di dalam benak kalian yang namanya Online tuh tinggal pencet-pencet tombol keyboard, lalu duduk manis sambil ngeteh di teras rumah. Tetapi dalam praktiknya ternyata enggak online-online banget, dari mulai MABA sampai semester tua, nih KRS ya tetap manual. Harus ke kampus dan merelakan masa-masa liburan yang indah di kampung halaman bersama keluarga. Ya, tak apalah kalau kampungnya cuma di Sewon mBantul, lah teman-teman pulang kampungnya ke luar Jawa. Bukannya enggak kasian? Kasian kan? Bisa sih nitip teman, tapi ya masa nitip terus, kan enggak enak. Meskipun sudah nitip, kadang juga ribetnya Masyaallah. Tambah kasian enggak sih sama temen?

Nah, tak sampai di situ dramanya. Pelayanan yang juteknya kebangetan, Astaghfirullah kayak mantan pacar habis diputusin. Senyum saja pelit, apalagi nanyain liburannya ke mana. Bayangkan coba! Eits, jangan banyangin pelayanan di Bank atau di Maret-maret yang berjamur ngikis toko kelontong loh yah. Itu kayak surga sama neraka bumi dan langit. Duh, jadi kebayang kan mbak yang manisnya enggak ketulungan, yang sering ngucapin selamat pagi kalau jajan di Alpamaret dekat kosan. Senyummu itu lho mbak. Manis!

Timbul masalah lagi nih, nyari tempat duduk. Sofa di rektorat sudah penuh semua. Sedih! Niatnya mau wifi-an untuk KRS Online, tapi enggak dapat tempat duduk. Ya sudah, akhirnya ngemper juga di lantai. Seketika itu, image ke-cool-an sirna. Citra yang sudah lama terbangun akhirnya hancur. Duh, kenapa sih enggak disediain bangku-bangku di sekitar kampus buat duduk-duduk ngerjain tugas dari dosen yang tampan dan cantik atau buat baca buku kesukaan. Baru saja duduk belum buka laptop, sudah disamperin mahasiswa yang enggak artsy (mahasiswa baru kali yak). Saya kira mau ngusir, ternyata nanya “Mas, password wifi-nya apa ya?”. Nah, ini nih. Kesamaan dengan tahun-tahun sebelumnya. Membosankan! Kenapa mau menggunakan wifi harus daftar dulu minta diaktifkan dan password? Kenapa enggak otomatis saja, kita kan sudah terdaftar secara resmi dan sah sebagai mahasiswa, tanpa dua saksi dan penghulu. Sedih enggak sih?

Kesedihan terus berlanjut, bak bola salju yang menggelinding semakin membesar. Seperti drama korea yang bikin nangis bombai. Untuk menjadi mahasiswa yang baik dan patuh pada pemaksaan peraturan, syarat KRS Online harus mengumpulkan surat keterangan bebas pinjaman perpus. Huft, bukannya sudah digital? Jadi kan tahu mana yang belum, yang sudah dan yang enggak pernah minjem. Kok masih ada syarat ngumpulin surat keterangan? Okelah kalau memang yang punya tanggungan sama perpus, tapi yang enggak, kan sebenarnya sudah tercatat secara otomatis. Apa ini ya fungsinya perpus? Rame cuma pas KRS-an doang! Temanku nyeletuk “Iya, ramenya pas KRS-an doang. Pada males kali ke Perpus. Lagi enak-enak baca, eh diusir, disuruh istirahat, ngeselin enggak sih? Inspirasiku buyar seketika. Kalau mau istirahat mah istirahat saja ya kan? Kan bisa gantian. Di perpus lain kayaknya enggak gitu-gitu amat deh”. Damn! Bener banget dud.

“KRS pasti berlalu” . Akhirnya (senyum mengembang bak roti yang dipanggang). Tetapi, badai enggak cuma sekali lho datangnya. “Badai pasti kembali”.

Hal yang paling membosankan dan nyebelin selanjutnya adalah ketika Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) kembali. Gimana enggak nyebelin? Kita telat kadang enggak boleh masuk, kalau boleh masuk enggak boleh presensi. Tetapi kalau pengajar yang telat, enggak apa-apa. Masalah selesai ketika pengajar minta maaf, padahal mahasiswa bisa nuntut. “Aku enggak berani, entar dikira anak nakal. Kuliahku dipersulit,” ia nyeletuk lagi. Aku meringis, karena aku juga sebenarnya enggak mau ribet. Ngingetin saja kadang dikira enggak suka, lalu nilaiku dapat C. Nyebelin! Sampai datangnya libur hari tenang pun kita merasa bosan. Hari tenang kok enggak tenang. “Mampus kau dikoyak-koyak seni!” Chairil Anwar nyeletuk.

Huft banget bukan? Sama saja kan sama tahun-tahun sebelumnya? Aku pikir mengatasi hubungan yang membosankan seperti ini enggak cuma butuh Resolusi, tetapi Revolusi. Untung di tahun 2019 aku sudah lulus (Insyallah, amien!. Eh, ikut doain dong!), jadi hal-hal seperti itu aku enggak mau ngulang lagi. [AK]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.