Teater Senthir telah sukses menggelar pementasan naskah drama Jakarta 1998 karya Agus Ley-Loor pada tanggal 25 September 2022 di Auditorium Teater Rendra Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pementasan teater yang mengangkat isu kehidupan masyarakat pinggiran Kota Jakarta tahun 1998 ini berdurasi 60 menit dan berhasil menghipnotis ratusan penonton. Pementasan teater Jakarta 1998 merupakan pementasan perdana mahasiswa Jurusan Teater Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 2020 sekaligus pementasan angkatan yang pertama kali dilaksanakan pasca pandemi Covid-19 di Jurusan Teater.

Naskah drama Jakarta 1998 berkisah tentang kehidupan dua keluarga yang tinggal di pinggiran kota Jakarta, yaitu keluarga Mak Kuat dan Pak De Jumingan. Kehidupan mereka dipenuhi kisah pilu dan konflik pelik, harapan-harapan mereka datang dan pergi bergitu saja. Dengan mengangkat tema “Harapan yang pupus di tengah huru-hara reformasi”, pertunjukan ini menceritakan dampak sosial yang terjadi di balik peristiwa besar tahun 1998. Hal ini dibenarkan oleh sutradara pementasan Jakarta 1998, Awang Muhklis Suhardi dalam wawancara bersama Pressisi pada Rabu (25/09).
“Jakarta 1998 memberikan gambaran kepada penonton bahwa di balik reformasi terdapat dampak sosial yang besar terhadap kehidupan masyarakat Jakarta. Di mana ketika di tengah-tengah huru-hara reformasi titik-titik Jakarta pada 1998 terdapat masyarakat-masyarakat pinggiran kota yang tidak tahu menahu perihal itu yang pada akhirnya berdampak pada kondisi sosial, ekonomi, dan juga politik.” Ujarnya.

Mak Kuat adalah tokoh sentral dalam drama Jakarta 1998 yang memiliki karakter tangguh dan pekerja keras. Sebagai sosok masyarakat kelas bawah yang bekerja sebagai pengepul barang bekas, dirinya tidak menanggapi isu-isu yang berkembang pada masa itu, misalnya masalah reformasi. Namun reformasi dan kerusuhan tahun 1998 menyisakan duka dan luka mendalam bagi Mak Kuat. Anak semata wayangnya, Pungkas telah menjadi korban peluru nyasar dalam peristiwa tersebut. Cherrysa Dea Ramadhanty (20) selaku pemeran Mak Kuat berhasil menghipnotis penonton dengan aktingnya yang natural. Berdasarkan wawancara dengan tim Pressisi, gadis yang kerap dipanggil Icha ini menyebutkan bahwa dirinya menggunakan metode akting Stanislavski untuk mempersiapkan dirinya sebagai sosok Mak Kuat.
“Persiapan aku itu panjang banget ya. Mulai dari penghafalan naskah, pencarian 3 dimensi tokoh, latihan di depan kaca, dan masih banyak lagi. Kalo aku sih yang paling penting menentukan metode akting yang dipakai. Karena ini pertunjukan realisme, maka aku memakai metode akting Stanislavski.” Ujarnya pada wawancara bersama tim Pressisi pada Minggu (25/9).

Bukan hanya Icha, kualitas akting pemain lainnya juga sangat baik. Setiap tokoh memiliki posisi dan keunikannya masing-masing. Salah satu hal ikonik dalam pementasan Jakarta 1998 adalah hadirnya sosok Pak De Jumingan (Lulus Mahardika) dan motor bututnya. Wibi (20) adalah salah satu penonton yang mengungkapkan ketertarikan terhadap sosok Pak De dan motor bututnya.
“Salah satu hal menarik dari pementasan ini menurut aku adalah Mas Lulus dan suara motornya. Unik banget!” Ujarnya.

Teater Senthir telah melewati waktu yang panjang hingga akhirnya berhasil mementaskan Jakarta 1998. Kesuksesan pementasan teater Jakarta 1998 tidak terlepas dari peran penonton sebagai penyempurna proses kreatif ini. Awang Muhklis sebagai sutradara dalam pementasan Jakarta 1998 mewakili Teater Senthir untuk mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu dan mendukung proses kreatif ini, terutama untuk antusiame penonton yang sangat tinggi.
“Perihal antusias penonton khususnya pentas perdana ini saya sangat yakin 100% vibesnya akan positif. Apalagi pentas ini sudah vakum dari 2 tahun yang lalu karena pandemi, pasti ketika mulai merangkak lagi banyak sekali yang ingin membantu membangun vibes pentas perdana kembali. Saya atas nama Awang Muhklis Suhardi meminta tolong, maaf, dan terima kasih.” Ujarnya.

Fenomena antusiasme penonton yang sangat tinggi dalam pertunjukan Jakarta 1998 menjadi perbincangan meskipun pertunjukan telah usai. Pasalnya pada saat hari pementasan, banyak penonton dadakan sehingga jumlah penonton membludak dan meningkat drastis dari jumlah penonton yang telah melakukan reservasi beberapa hari sebelum pementasan. Hal ini mengakibatkan banyak penonton berdiri bahkan duduk di lantai karena kuota kursi telah habis. Meskipun begitu, penonton yang berdiri dan duduk di lantai tetap semangat dan antusias. Berikut adalah pendapat beberapa penonton setelah menyaksikan pementasan teater Jakarta 1998 hasil wawancara tim Presisi pada Senin (26/9).
“Kesan setelah menonton pertunjukan Jakarta 1998 itu sangat bagus karena didukung dari segi artistik, sound, maupun aktor yang sangat totalitas.” Ujar Wibi (20).
“Kesan yang kudapat adalah rasa iba kepada seorang yang kehilangan sesuatu yang penting di masa yang sulit ini. selain itu juga terdapat rasa putus assa yang diakibatkan dari realita yang pahit.” Ujar Junior (19)
“Kesan latar 1998 tersampaikan dengan adanya aksi demonstrasi mahasiswa, sangat bagus!” Ujar Sofya (20)
“Menurutku pertunjukan Jakarta 1998 berhasil membangun suasana tahun tersebut, dengan setting dan spektakel yang mendukung. Penggunaan properti di dalam panggung pun hidup yang membuat gestur permainan semakin kata. Extras yang tidak disangka hadir (kucing) ini menjadi suatu hal yang positif untuk menampilkan pertunjukan yang realistis.” Ujar Awal (21).
“Shownya bagus, spektakel-spektakelnya menarik, artistiknya gak ada obat!” Ujar Puad (21).
Krisna Tama/ Pressisi 10