Pada tanggal 8 Maret 2018 kemarin, Sekala Niskala pulang untuk menyapa para penikmat film di negaranya. Film karya Kamila Andini ini berhasil membawa pulang beberapa penghargaan di Festival Film Internasional. Film tersebut tayang perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) tahun 2017, dan diputar dalam beberapa festival lainnya seperti saat di Jepang.
Film ini memenangkan penghargaan dalam Asian Pasific Screen Award (APSA) ke-11 di Brisbane pada November 2017 untuk kategori Film Remaja Terbaik, bersama salah satu film Indonesia; Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak. Film yang mengambil latar Pulau Bali tersebut juga meraih hadiah utama dari juri dalam Tokyo FILMeX ke-18, Golden Hanoman Award di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017, dan Berlin Internasional Film Festival kategori Generation KPlus International Jury.

Dalam film ini Kamila berani mengambil sudut paling kecil dalam budaya Bali, tetapi mampu mewakili rasa penasaran masyarakat tentang bagaimana bentuk visual keberagaman budaya di Indonesia. Dengan berlatar budaya Bali yang kental, menjadikan film ini mampu bernuansa surealis. Menyajikan kisah tradisi khas, dimana kedekatan antara kehidupan dan kematian tergambar. Sutradara muda tersebut juga berhasil membuat satu sajian bagaimana hubungan manusia dan alam semesta dapat diwakilkan oleh imajinasi anak-anak.
Sekala Niskala bercerita tentang anak kembar buncing, laki-laki dan perempuan. Dimana dalam adat istiadat Bali banyak terjadi kesimpang siuran mengenai takdir anak kembar buncing tersebut, ada beberapa yang menganggap anak kembar buncing adalah berkah, ada juga yang menganggap hal tersebut sebagai kutukan. Tokoh utama dari film ini ialah Tantri dan Tantra. Tantri berperan menjadi sosok kakak yang kalem dan melindungi adiknya. Sedangkan adiknya Tantra, memiliki sifat yang sedikit bertolak belakang dengan Tantri: usil, banyak ingin tahu dan tidak bisa diam. Kedua anak kembar itu dikisahkan masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
Tantri (Ni Kadek Thaly Titi Kasih) dan Tantra (Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena) diceritakan sebagai anak kembar yang selalu menghabiskan waktu bersama-sama, dunia bermain mereka seketika terusik saat Tantra mulai jatuh sakit, Tantra hanya bisa berbaring di atas ruang perawatan rumah sakit. Tantra yang menderita penyakit serius sudah tidak memiliki indra perasa lagi. Syaraf tubuhnya sepenuhnya mati rasa. Diperlihatkan juga ibu dan ayahnya terlihat cemas dan kalut melihat kondisi Tantra.
Saudara kembarnya Tantri membawa keadaan tersebut dalam imajinasi seorang anak yang akan kehilangan saudaranya. Tantri resah, Dari situlah dimulai sequence dengan beberapa peri anak-anak yang selalu ikut serta dalam dunia bermain mereka. Beberapa kali Tantri dan Tantra memainkan lakon-lakon tarian, dimana mereka memiliki cara sendiri untuk saling berkomunikasi.
Tantri menghadapi saat-saat penuh ambisi yang kuat saat bersama tantra. Tantri tahu, hanya memiliki sedikit waktu untuk bersama saudara kembarnya. Setiap malam tiba, Tantri dan Tantra kembali dipertemukan dalam ruang bermain yang imajinatif. Peri-peri berbentuk anak-anak lainnya selalu menarikan tarian kebisuan yang selalu mengikuti Tantra. Malam seperti cahaya bulan yang memancarar. Siang seperti bulan yang hilang. Tantri mencurahkan rasa cemas dan pengharapannya melalui tarian.

Imaji Tantri berputar seperti siang menuju malam. Hingga perlahan bulan memudar lalu hilang dan Tantra pergi di bawa peri-peri. Keresahan seorang Tantri yang akan kehilangan saudara kembarnya membawa mereka dalam perjalanan magis penuh emosi mengenai harapan dan kehilangan. Tantri dan tantra berjalan-jalan menyeimbangkan peran antara yang terilhat dan tidak terlihat. Tantri menjadi sangat antusias dan penuh ekspresif saat melihat beberapa hal yang dialaminya, mulai dari mengamati sepasang ayam beradu, hingga beberapa Monyet yang mondar-mandir dijadikan bentuk tarian-tarian yang ia perankan untuk mengajak Tantra bermain. Dalam sequence ini sang sutradara mengingatkan kita bahwa menari adalah bagian dari budaya yang indah dan dekat dengan masyarakat.
Keresahan Tantri digambarkan dengan sangat sunyi, membawa penonton merasakan hiruk pikuk perasaan saat akan kehilangan. Film ini berhasil mencekam dengan rasa resah dan takut yang magis. Bagaimana gerak-gerik Tantra dan Tantri berhasil menghipnotis imajinasi kita. Mendekatkan kita pada kultur Bali yang masih erat dengan seni tradisi dan mistis.
Kamila Andini sukses menunjukan kekhasan budaya Bali yang mistis tetapi dengan eksotisme yang indah, membawa keberagaman unik, jarang ditemui orang kebanyakan. Budaya Bali mempercayai Sekala dan Niskala yang berarti kehidupan memiliki dua hal penunjang Keseimbangan. Film Sekala Niskala bisa menjadi dongeng nyata atau bahkan surealis yang imajinatif, dengan sisi emosional film ini meliputi: kesedihan, kemarahan, dan keikhlasan.
“Saya punya gagasan bagaimana cara saya menyampaikan suatu ide di film ini, saya ingin mengajak penonton untuk benar-benar melihat ataupun merasakan: sebenarnya kita ini manusia Indonesia hidup seperti apa, berkoneksi seperti apa antar manusia dengan semesta, dan bagaimana kita berkoneksi. Karena sebenarnya kita itu manusia holistik dan kompleks, nah ini yang sebenarnya menarik untuk paham bagaimana kita hidup.” Jelas Kamila saat Q & A Online yang diadakan oleh Bentara Budaya Bali.
Film ini dibuat Kamila Andini dengan proses cukup lama yaitu lima tahun, bersama Produser Gita Farad. Kamila Andini memang sudah dikenal sebagai sutradara wanita berbakat. Dibantu oleh suaminya sendiri, Ifa Isfansyah dibawah naungan rumah produksi Treewater Productions dan Fourcolours Films.
Kamila berhasil membuat sajian indah dalam film ini, dimana mampu menunjukkan kecintaannya pada Bali secara utuh dan yakin. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa film ini menemui proses yang paripurna. Film ini berhasil diakhiri dengan kemeriahan sunyi dan rasa kosong. Kita cukup diam dan menjadi penonton yang saling resah.
Teks: Yuni Ratna Sari Dewi/ Desain Produk 2016