Tjoet Nja’ Dhien (1988) Emansipasi Tanpa Glorifikasi

 

Cut Nya Dien memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya setelah suaminya gugur. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nya Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukannya.

Slamet Rahardjo berperan sebagai Teuku Umar, suami Cut Nyak Dhien

 

Paragraf diatas adalah sinopsis singkat Film arahan Erros Djarot berjudul “Tjoet Nja’ Dhien”. Film yang turut dibintangi oleh aktor dan aktris papan atas seperti Christine Hakim, Piet Burnama, Slamet Rahardjo, dan mendiang Rudy Wowor. Berhasil memenangkan Piala Citra sebagai Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia. Merupakan film biografi yang menceritakan perjuangan istri Teuku Umar, Cut Nya Dien, dalam perjuangan gerilyanya melawan kape (sebutan orang Aceh kepada orang Belanda dan sekutunya) setelah sang suami meninggal dalam salah satu pertempuran di Meulaboh. Cut Nya Dhien kemudian mengambil peran Teuku Umar sebagai pemimpin gerilyawan Aceh di hutan Meulaboh dan terus melanjutkan perlawanan kepada pasukan Kolonial Belanda.

 

Periode 1970-1980an banyak bermunculan film dengan tema perjuangan. Tapi sayang, menurut penulis masih banyak yang justru hanya menjual ledakan bahkan banyak yang kurang akurat dengan kejadian sebenarnya. Belum lagi banyak juga film perjuangan yang mengaburkan fakta sejarah dan malah dijadikan alat propaganda pemerintahan saat itu. Membuat penulis skeptis jika menonton film perjuangan keluaran periode tersebut. Namun, film ini jadi pembeda karena mungkin pendekatan yang dipakai filmnya adalah berfokus pada pendalaman karakter Cut Nya Dhien. Disini tidak ada penggambaran yang berlebihan atau glorifikasi dari sosok pahlawan nasional dari Aceh tersebut. Kita akan diperlihatkan penggambaran yang manusiawi dari sosok Cut Nya Dhien, apa yang dia rasakan, kesulitan apa saja yang dihadapi, dan bagaimana harus bergelut dengan penyakit dan pengkhianatan selama mereka bergerilya di hutan Aceh. Semua tergambar nyata dan diperlihatkan bahwa Cut Nya Dhien adalah sosok perempuan yang benar-benar kuat. Bahkan Christine Hakim yang berperan sebagai Cut Nya Dhien disini saat diwawancarai sempat menangis bila mengingat perannya dalam film ini, ikut merasakan berbagai penderitaan yang dihadapi Cut Nya Dhien saat itu.

 

penampilan Cut Nyak yang diperankan secara luar biasa oleh Christine Hakim

Christine Hakim yang memerankan tokoh sentral dalam film ini benar-benar menunjukan performa yang baik dan menurut penulis termasuk capaian yang luar biasa bagi aktris tanah air. Beliau benar-benar mampu menggambarkan sosok Cut Nya Dhien secara 3 dimensi. Mulai dari penggambaran fisik tokohnya yang menurut penulis benar-benar menggambarkan sosok pejuang wanita tua yang bergerilya. Penulis perhatikan, mulai dari awal kemunculan Cut Nya hingga di akhir film, penggambaran fisiknya mengalami perubahan yang masuk akal. Semakin lama semakin terlihat kurus, dan membungkuk karena encok. Cut Nya juga mengalami rabun yang membuat kelopak matanya terlihat menghitam. Selain penampilan, Christine Hakim juga mampu menggambarkan emosi yang dialami oleh Cut Nya Dhien. Terlihat ketika Cut Nya akhirnya bertemu Leubeuh, orang Aceh yang memihak Belanda yang menyebabkan kematian suaminya. Tergambar raut muka penuh dendam yang mampu ditahan dan dikendalikan Cut Nya, yang kemudian klimaks dengan tusukan rencong ke perut Leubeuh. Satu adegan yang mampu menggambarkan siapa Cut Nya Dhien. Dalam memerankan karakter Cut Nya Dhien, Christine hakim juga lihai memainkan lidahnya sehingga mampu menirukan dengan baik logat orang Aceh. Penggambaran yang ada di film ini cukup membuat penulis lupa bahwa Christine Hakim bukan orang Aceh. Seiring berjalannya film juga penulis perhatikan intonasi suaranya mengalami perubahan dan semakin serak, sesuai dengan berjalannya waktu dalam film ini, usia Cut Nya juga bertambah.

Menurut sebuah artikel yang dilansir dari Kompasiana, Eros Djarot selaku Sutradara pada film ini memberikan 60 buku kepada Christine Hakim sebagai referensi untuk memerankan karakter Cut Nya Dhien. 11 buku diwajibkan dibaca dan 3 buku harus dibaca tuntas. Untuk tahun 1980an, di era sebelum internet, buku sebanyak itu sudah cukup untuk memberikan bagaimana gambaran Cut Nya Dhien yang paling akurat. Selain itu, pembuatan film ini juga memakan waktu 3 tahun yaitu mulai dari tahun 1985-1988. Membuat film ini  menjadi salah satu film kolosal yang tak sembarangan dalam penggambaran tokoh, latar waktu maupun tempat didalamnya.

Dengan penggambaran yang cukup akurat dan penampilan yang luar biasa dari Christine Hakim bukan berarti film ini tidak memiliki kekurangan. Pacing adegan dalam film ini melompat-lompat dari satu kejadian ke kejadian yang lain. Penulis seperti menonton series yang disatukan menjadi satu film. Selain itu, karena film ini dibuat pada tahun 1980an, banyak akting aktor figurannya yang terlihat berlebihan dan cenderung lebay, apalagi ketika aktor tersebut tertembak, tertusuk, atau dipukul. Seandainya pembaca pernah melihat film Suzana atau Jaka Sembung, pasti paham apa yang penulis maksud. Namun terlepas dari kekurangan yang ada, film ini menurut penulis sudah layak jika disebut Film Kolosal terbaik di Indonesia. Tak main-main, Film ini meraih 8 Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI) pada 1988. Selain Film Terbaik, Piala Citra yang dimenangkan juga untuk kategori Sutradara Terbaik (Erros Djarot), Pemeran Wanita Terbaik (Christine Hakim), Skenario Terbaik (Erros Djarot), Cerita Asli Terbaik ( Erros Djarot), Tata Sinematografi Terbaik (George Kamarullah), Tata Artistik Terbaik (Benny Benhardi), dan Tata Musik Terbaik (Idris Sardi).

Setelah soal teknis film, penulis ingin sedikit membahas mengenai sejarah dan tema utama film ini, yaitu emansipasi. Film ini awalnya dirilis pada tahun 1988, lebih dari 30 tahun yang lalu dan kemudian direstorasi ulang dan tayang secara terbatas di bioskop Jabodetabek Mei 2021 lalu. Film ini mampu menggambarkan sosok pahlawan tanpa bias gender dan tidak mengglorifikasi sosok pahlawan, memperlihatkannya sebagai wanita tua renta yang gigih berjuang mengusir penjajah dari tanahnya. Tidak ada keberhasilan yang diraih diakhir film ini. Bahkan pihak Belanda masih memperlakukan Cut Nya dengan baik ketika ditangkap. Kedua pihak terlihat lelah dan sama-sama frustasi dengan kondisi perang gerilya tanpa akhir.

 

Pang Laot diperankan oleh Piet Burnama.

Pang Laot yang merupakan salah satu anak buah Cut Nya, diberi pesan terakhir oleh mendiang Teuku Umar untuk menjaga Cut Nya. Dia merasa iba pada kondisi Cut Nya yang mulai memburuk akibat gerilya di hutan selama bertahun-tahun. Kondisi pasukannya juga jauh dari kata layak untuk menghadapi Belanda, karena kekurangan makanan dan terkena penyakit. Bujukan Pang Laot agar Cut Nya menyerah saja melihat kondisi tubuhnya yang tak memungkinkan, malah dibalas dengan amarah. Pang Laot yang makin iba dan tak tega melihat Cut Nya akhirnya memilih menyerahkan diri dan melaporkan keberadaan Cut Nya pada Belanda. Dia menyerah dengan syarat Cut Nya akan dirawat dan tidak diasingkan.

 

Akhir dalam film ini membuat kita sadar bahwa banyak perjuangan perlawanan kepada Belanda di Nusantara tidak banyak yang berjalan mulus. Pada akhirnya para pejuang malah mengalami penderitaan dan kesengsaraan yang berujung pada kekalahan yang getir. Sebut saja akhir Perang Padri, Perang Jawa, Perang Diponegoro, Perlawanan Sultan Hasanuddin, semua berakhir menyedihkan. Namun semangat perlawanan tersebutlah yang akhirnya mampu membakar semangat perjuangan ketika masa Revolusi Fisik mempertahankan kemerdekaan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Yang pada akhirnya mengantarkan kita pada kemerdekaan abadi.

Lalu bagaimana dengan emansipasi wanita? Penulis rasa, kemerdekaan masih setengah hati menyambangi emansipasi gender di Indonesia. Memang peran perempuan bertambah di masyarakat. Tapi apakah berimbang pada hak-hak dan perlindungan perempuan Indonesia? kasus pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, pernikahan dibawah umur semuanya masih jadi bahan pemberitaan yang umum di media Indonesia, belum lagi kasus yang tidak diberitakan atau bahkan dilaporkan. Artinya perempuan Indonesia masih belum mencapai emansipasi yang sempurna, dimana hak-haknya dipenuhi dan dilindungi oleh undang-undang. 30 tahun lebih setelah perilisan film “Tjoet Nja’ Dhien” sudahkah ada sosok perempuan yang meneruskan semangat emansipasi dari Cut Nya Dhien ? Semoga pembaca menjadi salah satunya. Merdeka !

 

Teks oleh: Ari Jallu Maula A. / Jurusan Film dan Televisi /Program Studi Animasi 2018/ Pressisi angkatan 10

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.