Pendahuluan
Film “Wolfwalkers” (2020) merupakan film keempat rilisan studio Cartoon Saloon yang berbasis di Kilkenny, Irlandia. Bersama dengan “The “The Secret of Kells” (2009), “Song of the Sea” (2013), “Wolfwalkers” menjadi film ketiga dan terakhir dari trilogi cerita rakyat Irlandia garapan Cartoon Saloon dan sutradara Tomm Moore. Selain ketiga film tersebut, adapun film “The Breadwinner” (2018) yang—sampai saat artikel ini ditulis—merupakan satu-satunya film Cartoon Saloon yang tidak mengambil inspirasi dari cerita rakyat Irlandia.
Sinopsis
Film yang disutradarai oleh Tomm Moore dan Ross Stewart ini mengambil latar di Kilkenny, Irlandia pada tahun 1650. Secara singkat, film ini menceritakan tentang seorang anak perempuan bernama Robyn Goodfellowe (Honor Kneafsey) yang baru saja pindah dari Inggris ke sebuah kota kecil di Irlandia bernama Kilkenny bersama ayahnya, Bill (Sean Bean). Pada saat itu, Kilkenny berada di bawah pemerintahan otoriter Lord Protector (Simon McBurney) yang ingin memperluas daerah kekuasaannya. Kebetulan, di luar tembok pembatas kota, terdapat sebuah hutan rimbun yang menjadi tempat tinggal para serigala. Agar hutan tersebut dapat dijadikan sebagai daerah permukiman, Lord Protector pun memerintahkan Bill—yang bekerja sebagai seorang pemburu—untuk menghabiskan seluruh populasi serigala yang tinggal di dalamnya.
Sebagai anak perempuan, Robyn tidak diizinkan untuk keluar dari tembok pembatas kota. Ia diperintahkan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga di istana, meskipun ia sendiri sebenarnya lebih senang berburu dengan ayahnya. Namun, suatu hari, tanpa sepengetahuan ayahnya, ia diam-diam keluar dari tembok pembatas kota dan pergi menuju hutan untuk mengikuti ayahnya. Sesampainya di tengah hutan, ia bertemu dengan seorang anak perempuan bernama Mebh (Eva Whittaker), yang juga merupakan sosok makhluk yang dikenal sebagai ‘wolfwalker’. Makhluk dalam mitologi Irlandia ini bertugas sebagai pelindung hutan bersama kawanan serigala. Mereka memiliki kemampuan untuk memerintah serigala, juga memiliki kekuatan untuk menyembuhkan luka. Pada saat mereka terbangun, mereka mengambil wujud manusia biasa; pada saat mereka tidur, mereka berubah wujud menjadi seekor serigala.
Meski pada awalnya keduanya saling mencurigai satu sama lain, Robyn dan Mebh kemudian menjadi teman baik. Pandangan Robyn terhadap serigala—sebagai binatang liar yang jahat—seketika berubah. Robyn pun menceritakan rencana Lord Protector kepada Mebh dan mendesaknya untuk segera pergi dari hutan tersebut. Mebh dan kawanannya memang sudah berencana untuk mencari tempat tinggal baru, namun di tengah-tengah pencariannya, ibu Mebh tak kunjung kembali, masih dalam tubuh serigalanya, sedangkan Mebh bersikeras bahwa ia tidak akan pergi dari hutan tersebut tanpa ibunya. Robyn kemudian menyadari bahwa dengan membantu Mebh menemukan ibunya yang hilang, para serigala akan bisa pindah dari hutan tersebut. Dengan demikian, ayahnya bisa menyelesaikan pekerjaannya tanpa harus membunuh para serigala. Namun demikian, pada saat Robyn mencoba meyakinkan ayahnya mengenai ini, ayahnya justru marah begitu mengetahui Robyn diam-diam pergi ke hutan dan melanggar perintah Lord Protector untuk bekerja di istana. Robyn pun dihadapkan pada sebuah dilema; di satu sisi, ia ingin membantu Mebh dan kawanannya dari perintah Lord Protector yang ingin membunuh spesies mereka, namun disisi lain, ayahnya—yang menganggap wolfwalkers sebagai mitos belaka—enggan melawan perintah Lord Protector.
Aspek Cerita
Topik utama yang diangkat oleh film ini adalah mengenai kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Mereka terus menerus menebangi pepohonan di hutan dan memburu serigala yang tinggal di dalamnya. Tempat tinggal para serigala serta populasi serigala menjadi semakin sedikit, sehingga para serigala dipaksa untuk mencari tempat tinggal baru. Bukan hanya sekadar cerita fiksi, perburuan serigala secara besar-besaran memang benar-benar terjadi di masa pemerintahan Oliver Cromwell (sebagai informasi, tokoh Lord Protector sendiri memang didasarkan oleh sosok nyata Oliver Cromwell). Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, per tahun 1786, serigala di Irlandia dinyatakan punah.
Walaupun terdengar seperti topik yang sudah cukup sering diangkat dalam berbagai macam cerita, disamping membahas tentang pentingnya melestarikan lingkungan, ada banyak sekali subtema pada film ini yang menarik untuk dianalisis secara mendalam. Lebih dari sekadar tontonan hiburan untuk anak-anak, film “Wolfwalkers” ini juga sarat akan kiasan yang dapat menjadi cerminan realita kita. Disamping itu, ada banyak sekali pesan moral yang bisa diambil dari film ini, baik oleh para penonton usia muda, maupun penonton usia dewasa.
Kebencian Lord Protector terhadap para serigala mencerminkan bagaimana seringkali orang-orang berprasangka buruk kepada mereka yang berada di luar lingkungan sosial mereka (jika dihubungkan dengan realita kita, mereka yang berbeda suku, bangsa, ras, ataupun agama), tanpa benar-benar mengenal mereka. Persahabatan antara Robyn dan Mebh ini menekankan betapa pentingnya memperluas perspektif kita mengenai mereka yang berada di lingkungan sosial kita. Setelah mengenal Mebh dan menyadari seperti apa kehidupan para serigala di hutan yang semakin lama semakin sempit, prasangka buruk Robyn terhadap serigala seketika hilang. Dari situ, Robyn mulai berempati kepada Mebh dan kawanannya, bahkan bertekad untuk membantu mereka.
Sedikit menyentuh topik feminisme, barangkali, rintangan terbesar yang dihadapi oleh Robyn sepanjang alur cerita ini adalah kenyataan bahwa ia hidup di masyarakat dimana anak perempuan tidak bebas menentukan pilihannya dan lebih sering diabaikan pendapatnya. Kebijakan Lord Protector yang mengharuskan setiap anak perempuan untuk bekerja di istana dirasa memberatkan bagi Robyn, yang kebetulan lebih senang berpetualang dan berburu bersama ayahnya daripada melakukan pekerjaan rumah tangga. Selain itu, beberapa kali Robyn berusaha untuk meyakinkan ayahnya dan juga Lord Protector bahwa ada cara lain untuk menyingkirkan para serigala tanpa harus ada tumpah darah, tetapi hasilnya nihil. Dengan banyaknya rintangan yang ia hadapi sebagai anak perempuan yang hidup di abad ke-17, Robyn harus berani membebaskan diri dari tekanan orang-orang di sekitarnya demi melakukan apa yang ia rasa benar. Keberanian Robyn (dan juga Mebh) tentu bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak perempuan untuk mengikuti kata hati mereka tanpa mempedulikan pendapat masyarakat mengenai bagaimana seorang perempuan seharusnya bertindak.
Gambar 3: Robyn berusaha meyakinkan Lord Protector bahwa mereka tidak harus membunuh para serigala
Berbicara tentang perwatakan tokoh, pada bagian utama dari cerita ini, tokoh Bill Goodfellowe memiliki peranan yang cenderung antagonis terhadap peran Robyn. Meskipun demikian, ini tidak lantas menjadikan Bill sebagai tokoh jahat pada cerita ini. Sejatinya, keengganan Bill untuk mendengarkan anaknya dipicu oleh ketakutannya terhadap Lord Protector. Sebagai pendatang baru di Kilkenny, Bill ingin ia dan Robyn bisa diterima di tempat tinggal baru mereka, sehingga ia selalu berusaha menaati perintah Lord Protector. Jika ia dan Robyn melawan peraturan Lord Protector, disamping kehilangan jabatannya, Bill juga terancam kehilangan Robyn; sepeninggalan istrinya, Robyn merupakan satu-satunya orang tersayang yang ia miliki, oleh karena itu Bill tidak sanggup jika ia sampai harus kehilangan Robyn juga. Kompleksitas tokoh Bill ini menunjukkan bahwa seringkali menentukan baik-jahatnya seseorang dalam suatu cerita tidak sesederhana “hitam dan putih”.
Mengambil latar di Irlandia pada masa kekuasaan Inggris, kolonialisme memiliki pengaruh besar terhadap alur cerita “Wolfwalkers”. Konflik antara Mebh dan kawanannya dengan Lord Protector merupakan cerminan dari konflik antara kultur paganisme masyarakat lokal Irlandia dan kekristenan yang dibawa oleh pemerintah kolonial Inggris. Dalam film, sesekali ditunjukkan bagaimana Lord Protector memandang perburuan serigala yang kerap ia gembar-gemborkan ini sebagai perintah dari Tuhan, yaitu memberantas “sumber kejahatan”. Dengan pandangan agamanya yang cenderung ekstrem, Lord Protector menganggap wolfwalker sebagai ‘omong kosong paganisme’ belaka. Bukan bermaksud untuk menjelek-jelekkan agama Kristen, melalui tokoh Lord Protector, film ini ingin menyoroti bagaimana agama seringkali disalahtafsirkan sebagai pembenaran untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya justru melenceng dari nilai-nilai agama dan akibat fatal dari misinterpretasi tersebut.
Aspek Visual
Jika dibandingkan dengan film-film animasi 2D rilisan Disney ataupun Ghibli, gaya seni (art style) pada film ini (dan juga film-film Cartoon Saloon lainnya) mungkin terbilang sederhana. Meskipun demikian, tim animator “Wolfwalkers” sukses memanfaatkan elemen-elemen visual untuk menggambarkan suasana/mood pada setiap adegannya, menjadikan film ini sarat akan simbol-simbol visual.
Pada latar kota, setiap bangunan dan benda di dalamnya digambarkan dengan bentuk yang kaku dan bersudut, dengan gaya ala seni woodblock printing (teknik cetak blok kayu/cukilan kayu). Jika diperhatikan baik-baik, pewarnaan animasinya juga sengaja dibuat agak keluar garis (outline), sehingga tampak seperti kesalahan pewarnaan pada cetakan woodblock. Disamping itu, warna yang digunakan untuk melukiskan keadaan kota juga cenderung kusam, didominasi dengan warna abu-abu dan kecokelatan. Kesan “keteraturan” pada latar kota juga semakin diperkuat oleh elemen-elemen visual di dalamnya yang tersusun rapi. Pemanfaatan elemen visual yang sedemikian rupa ini mencerminkan kehidupan kota di bawah pemerintahan Lord Protector yang suram, membosankan, dan mengekang kebebasan Robyn.
Sebaliknya, bentuk yang digunakan untuk menggambarkan suasana di hutan cenderung melengkung, dengan garis yang bebas (seperti sketsa kasar), cerminan dari betapa bebasnya kehidupan di dalam hutan. Warna yang digunakan pun lebih cerah, dan didominasi dengan warna-warna alami seperti hijau, kuning, jingga, dan cokelat, sehingga memberikan suasana ceria pada adegan-adegan di latar hutan. Berbeda halnya dengan latar kota, latar hutan pada film ini tampak seperti lukisan cat air dengan tekstur khas cat air yang terlihat jelas dan sketsa pensil yang sengaja tidak dihapus. Lebih menakjubkan lagi, latar hutan tersebut digambar secara manual (bukan menggunakan komputer), sehingga kesan alami latar hutan pada film ini sangat terasa.
Bukan hanya pada gambar latar tempat filmnya saja, para animator juga memanfaatkan elemen bentuk untuk menggambarkan karakteristik masing-masing tokoh. Misalnya, desain karakter dari tokoh-tokoh yang tinggal di hutan seperti Mebh serta para serigala didominasi dengan bentuk bulat dan lengkung, dengan garis yang tampak lebih kasar dibandingkan tokoh-tokoh yang tinggal di dalam kota. Bentuk yang sedemikian rupa ini bertujuan untuk menggambarkan sifat tokoh Mebh yang ceria dan liar, seperti halnya para serigala. Sebaliknya, tokoh Lord Protector digambarkan dengan bentuk yang kaku dan bersudut. Dengan demikian, sekali melihat saja, para penonton dapat langsung menebak bahwa ia adalah tokoh antagonis dalam film ini. Bentuk kaku ini juga terlihat pada desain karakter para penduduk kota yang hidup dalam keteraturan di bawah Lord Protector. Adapun tokoh Robyn yang digambarkan dengan gabungan bentuk bersudut dan lengkung, sebagaimana peran Robyn dalam film ini, yaitu sebagai “penengah” antara tokoh-tokoh di kota dan di hutan.
Kesimpulan
Akhir kata, rasanya tidak berlebihan jika film “Wolfwalkers” ini dikatakan sebagai suatu mahakarya di bidang film animasi. Tampilan visualnya yang sangat unik sukses membuat takjub para penontonnya. Lebih dari itu, Cartoon Saloon juga berhasil memanfaatkan cerita rakyat untuk membahas isu-isu penting yang masih relevan di masyarakat kita hingga kini. Tidak menutup kemungkinan jika cerita-cerita rakyat Indonesia diadaptasi menjadi sebuah film dan digarap dengan serius sebagaimana Cartoon Saloon menggarap cerita-cerita rakyat Irlandia, popularitas cerita rakyat Indonesia akan semakin meningkat di kalangan masyarakat, bahkan dikenal di kancah internasional.
Teks: Gitanjali Mayra Ekarini / Anggota Magang / Pressisi angkatan 10